Eksploitasi Anak Dibawah Umur, Bisnis Prostitusi Anak Kian Menjadi-jadi
- Viva.co.id
VIVA Jabar – Aktivitas prostitusi yang melibatkan anak di bawah umur di Jakarta menjadi masalah serius, meskipun aparat kepolisian terus berusaha untuk memberantasnya. Meskipun polisi telah melakukan banyak penangkapan terhadap pelaku prostitusi anak, namun masih ada tersangka baru yang terus muncul dalam bisnis yang tidak sah ini.
Polda Metro Jaya baru-baru ini menangkap seorang mucikari bernama FEA (24) yang menggunakan aplikasi MeChat untuk menawarkan 21 PSK di bawah umur. Dalam penyelidikan polisi, terungkap bahwa pelaku FEA menjual anak-anak di bawah umur untuk menjadi pelaku prostitusi dengan tarif mulai dari Rp 1,5 juta hingga Rp 8 juta per jamnya.
Keterlibatan anak-anak di bawah umur dalam aktivitas prostitusi sangat memprihatinkan dan melanggar hak-hak mereka yang seharusnya dilindungi. Penegakan hukum yang tegas dan langkah-langkah pencegahan yang lebih efektif diperlukan untuk memberantas praktik ini dan melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual. Selain itu, edukasi masyarakat dan peningkatan kesadaran akan bahaya prostitusi anak juga penting untuk mencegah terjadinya kasus-kasus serupa di masa depan.
Dirkrimsus Polda Metro Jaya, Kombes Ade Safri Simanjuntak, mengatakan dalam bisnis ini juga FEA mendapat bagian sebesar 50 persen dari setiap transaksi prostitusi anak di bawah umur tersebut. Dia telah menjalankan bisnis gelap ini selama lima bulan, sejak April hingga September 2023.
"Awal mula bisa masuk dan mengenal tersangka dari jaringan pergaulan. Sebagian besar anak korban masih sekolah," ujar Ade Safri Simanjuntak.
Hasil penyelidikan polisi juga pelaku FEA "memasarkan" korban-korban di media sosial. Setelah mendapat pelanggan, FEA langsung memanggil korban terpilih untuk melayani pelanggan pria hidung belang. Dalam kasus ini Polda Metro Jaya juga mengamankan dua anak, yang menjadi korban prostitusi mucikari FEA.
Ade Safri Simanjuntak mengatakan, dua anak yang diamankan polisi berinisial SM (14) dan DO (15) yang masih berusia di bawah 17 Tahun. "Adapun korban atau anak yang menjadi korban tindak pidana dimaksud, sebanyak dua orang," ujarnya.
Hingga kini kedua korban ditangani ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta.
"Mereka dibawa ke safe house P2TP2A untuk penanganan tindak lanjut terhadap anak korban," ujarnya.
Korban anak broken home
Diketahui kasus prostitusi anak yang terjadi di Jakarta juga pernah terjadi dan diungkap Polda Metro Jaya pada setahun lalu yakni kasus prostitusi anak di salah satu hotel di Jalan Jaha, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis 22 September 2022 dini hari.
Modus pelaku yang berperan sebagai mucikari dalam kasus tersebut terbilang sama, yakni menawarkan jasa prostitusi online perempuan yang masih di bawah umur kepada para hidung belang itu melalui aplikasi MiChat dari berbagai ponsel.
Pelaku merekrut anak perempuan yang keluarganya broken home, dan tidak mendapat perhatian orang tua, sehingga anak tersebut terjerumus pergaulan bebas. Anak-anak yang broken home tersebut menjadi sasaran utama Mucikari untuk direkrut dan dijadikan PSK.
Kasus dengan penetapan tarif yang sama juga dilakukan pada kasus prostitusi yang terungkap setahun lalu di Pasar Minggu oleh Polda Metro Jaya. Wakapolres Metro Jakarta Selatan, AKBP Haru, mengatakan pelaku mucikari menerapkan tarif berbeda bagi korban kepada pria hidung belang untuk sekali kencan.
"Penawarannya untuk para korban kepada pelanggan itu kurang lebih Rp 300.000 sampai dengan Rp 800.000, untuk sekali main," ujarnya.
Kasus yang sama juga terjadi pada Oktober 2021, pihak kepolisian mengungkap kasus prostitusi online anak di bawah umur di Apartemen Kalibata City, Pancoran, Jakarta Selatan. Polisi menilai para pengguna jasa prostitusi anak di bawah umur menggunakan tempat di kamar yang digunakan pelaku. Bahkan salah satu korban yang masih berusia 16 tahun mengaku kepada polisi sudah melayani pria hidung belang lebih dari 17 kali.
Media sosial
Kesamaan dari kasus-kasus prostitusi yang melibatkan anak di bawah umur adalah sama-sama menggunakan medsos. Medsos sama-sama digunakan baik sebagai sarana media promosi dan penjajakan muncikari terhadap calon korbannya.
Tanggapi kasus tersebut, psikolog anak, Ghianina Yasira Armand, mengungkapkan sekitar 150.000 anak Indonesia dilacurkan dan diperdagangkan untuk tujuan seksual. Ghianina menjelaskan maraknya prostitusi anak dapat mengindikasikan bahwa di masyarakat banyak permintaan prostitusi anak, yang akhirnya membuat pihak-pihak tertentu berusaha menjawab kebutuhan.
"Adapun kebutuhan yang ada di masyarakat dijadikan sebuah peluang bisnis untuk mencari keuntungan pribadi," ujarnya.
Upaya negara untuk menanggulangi kondisi prostitusi anak dengan salah satunya menangkap sindikat sangat perlu diperhatikan dan lebih ditingkatkan.
Ghianina menegaskan bahwa faktor lingkungan dan keharmonisan keluarga juga menjadi peran penting anak dapat diantisipasi dari perdagangan untuk tujuan seksual.
Melihat kasus-kasus yang sama, para mucikari mengincar anak-anak perempuan dari keluarga yang tidak harmonis sebagai calon korban mereka yang berarti selain pekerjaan pihak berwajib untuk memberantas praktik ini, pihak keluarga juga perlu membentengi anak-anak mereka dari kemungkinan jeratan bisnis prostitusi di bawah umur.