Kisah Sedih Petani Menjelang Lebaran, Tak Punya Uang hingga Jual Sapi Tak Kunjung Dibayar
- Istimewa
VIVA Jabar – Dalam hitungan hari mayoritas masyarakat Indonesia akan menyambut Hari Raya Idul Fitri 2023 dengan penuh suka cita. Tapi di balik itu banyak kisah sedih yang dialami oleh masyarakat.
Salah satunya yang dialami oleh Tendi, seorang petani asal Kampung Bunder, Kelurahan Dangdeur, Kecamatan Subang, Kabupaten Subang. Disaat orang lain tengah sibuk mempersiapkan hari raya, Tendi masih bergulat memikirkan untuk modal menggarap sawah.
Kisah pilu Tendi itu tak sengaja ditemukan oleh Kang Dedi Mulyadi. Saat itu Kang Dedi yang tengah berkeliling menggunakan motor melihat seorang pria tua yang memiliki kelainan kaki kecil baru pulang dari sawah. Pria itu tak lain Tendi.
Dalam obrolan terungkap jika Tendi terpaksa turun mencangkul sawah sendiri karena tak memiliki modal membeli BBM untuk traktor. Di tengah keterbatasan fisik ia setiap hari pergi untuk mencangkul sehingga membutuhkan waktu lama hingga sawah siap ditanam.
"Ini butuh sekitar 20 hari lagi baru mulai tebar. Saya setiap hari turun cangkul. Karena kondisi kaki seperti ini paling sehari dapat sedikit. Kalau pakai traktor sehari juga selesai," ucap Tendi.
Ia pun sempat pasrah dan berharap bisa mendapatkan pekerjaan lain seperti menjadi kuli bangunan dengan pendapatan minimal Rp 50 ribu sehari. Sebab sebagai petani yang memiliki sawah garapan kecil ia tak pernah merasa untung.
Belum lagi, kata Tendi, selain membeli BBM traktor ia juga harus membeli pupuk yang harganya mahal dan langka. Ditambah ia harus membayar orang untuk tandur karena kondisi fisiknya yang tak memungkinkan.
"Sekarang mah pacul terus. Mau pinjam uang juga takut gak ada buat bayarnya. Sekarang jadi petani ripuh pisan (menderita sekali). Sekarang beras di dapur saja cukup sampai musim tandur, nanti setelahnya harus beli," katanya.
Meski begitu di tengah keterbatasan keuangan dan fisik Tendi terus bertahan menjadi seorang petani. Untuk memaksimalkan pendapatan ia pun berkebun pisang dan menanam pohon kayu yang bisa dipanen sekitar 5 tahun ke depan.
Saat disinggung soal pupuk, Tendi mengaku menyiasatinya dengan kotoran kambing dan ayam yang langsung disebar ke sawah. Begitupun dengan bibit ia mengandalkan dari petani lain karena jika beli di toko harganya dianggap mahal.
Sementara itu Kang Dedi Mulyadi akan membimbing Tendi untuk menjadi petani mandiri dengan pengelolaan sawah yang baik. Dimulai dari pemanfaatan kotoran ternak untuk difermentasi menjadi pupuk organik. Tidak seperti yang Tendi lakukan yakni hanya sekadar menyebar kotoran ke sawah.
"Nanti belajar sama saya di Lembur Pakuan. Bagaimana membuat pupuk organik. Agar menjadi petani itu itu tidak ripuh (susah) terus ketergantungan pupuk kimia," kata Kang Dedi.
Dari obrolan tersebut pun terungkap hasil bertani Tendi selama ini hanya mendapat Rp1 juta untuk empat bulan. “Berarti bapak hanya Rp 250 ribu per bulan. Sementara kalau jadi kuli sehari Rp 50 ribu, sebulan bisa Rp 1,5 juta,” ucapnya.
Di akhir obrolan Kang Dedi memberikan sejumlah uang kepada Tendi untuk membeli BBM dan modal kebutuhan sawah lainnya. Awalnya Tendi menolak, namun setelah diyakinkan ia pun menerimanya.
"Terima kasih, Pak. Tai gak salah ini bapak kasih saya uang banyak sekali?," ucap Tendi yang menangis tak menyangka akan mendapatkan bantuan modal bertani.
Singkat cerita Tendi pun mengungkapkan bahwa kondisi ekonomi keluarganya dari bertani mulai goyah saat sapi miliknya dijual ke seorang anak yang terpandang di kampungnya. Namun sudah tiga kali lebaran sapi tersebut tak kunjung dibayar.
"Sebenarnya saya punya uang dari sapi. Tapi sudah tiga tahun diutang gak dibayar. Sudah bosen nagih. Waktu itu dijual Rp 12 juta. Jadi bukan gak punya uang, tapi ya itu modal yang ada gak kembali. Waktu itu sai hanya dikasih Rp 1 juta untuk DP," kata Tendi yang kembali menangis mengingat momen tersebut.
Kang Dedi Mulyadi pun berjanji akan datang kembali ke rumah Tendi untuk mengajaknya menagih utang sapi tersebut. Sebab uang tersebut sangat berguna untuk keberlangsungan ekonomi keluarga Tendi.