Pahami Tanda Anak Alami Kekerasan Seksual, Mulai dari Murung hingga Nyeri Area Intim
- Pixabay
VIVA Jabar – Kekerasan seksual pada anak kian marak terjadi belakangan ini dengan berbagai motif hingga berdampak buruk baik secara fisik mau pun psikis. Namun, orangtua seringkali tak mengenali tanda saat buah hatinya mendapatkan kekerasan seksual sehingga penanganannya pun terlambat.
Ketua Satgas Perlindungan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Eva Devita menyebutkan bahwa anak-anak bisa sangat tertutup usai mengalami pelecehan seksual. Maka dari itu, orangtua yang harus mengawasi dan mengenali perubahan pada anak untuk membongkar insiden kekerasan seksual yang mungkin dialaminya.
"Seharusnya orangtua bisa mengenali tanda awal, anak mengalami kekerasan seksual," tutur Eva dalam acara virtual, Kamis 9 Februari 2023.
Eva melanjutkan bahwa tanda paling pertama yang patut dicurigai ketika anak mengalami perubahan perilaku yang drastis. Ada kemungkinan faktor rasa takut dan cemas membuat anak yang tadinya kerap ceria, berubah menjadi tertutup.
"Perubahan perilaku, cemas, depresi, jadi murung, takut bertemu orang asing, menghindar dari pelaku, menarik diri,” lanjut Eva.
Perubahan lainnya juga patut diwaspadai dengan anak-anak yang memasuki usia remaja namun enggan bersosialisasi seperti remaja pada umumnya. Tak sedikit pula yang menunjukkan penurunan nilai di sekolah lantaran emosionalnya terganggu.
"Selain itu, anak cenderung menarik diri. Pada anak yang sudah berusia remaja, kadang-kadang bisa menunjukkan perilaku percobaan bunuh diri, performa di sekolah menurun dan berkurangnya konsentrasi," tambah Eva.
Lebih dalam, anak mungkin mengalami kekerasan seksual dengan disertai keluhan yang tanpa alasan. Misal, enggan untuk bersekolah, merasa nyeri pada organ intim, tanpa menyebutkan alasannya. Serta, anak sangat berisiko mengalami gangguan makan dan perubahan pada pola tidurnya.
"Ada keluhan buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) seperti suka kecipirit. Mengeluh nyeri saat BAK dan BAB, ada gatal, cairan atau kotoran yang keluar dari vagina, serta ada luka di kemaluan atau anus," jelas Eva.
Bukan tanpa alasan, studi menemukan bahwa anak yang menjadi korban kekerasan seksual berisiko kesulitan menjalin hubungan sosial atau justru kerap berganti pasangan ketika remaja. Para korban ini juga berisiko mengalami depresi hingga perilaku atau upaya bunuh diri, bahkan empat kali lebih besar melakukan hubungan seksual di saat remaja.
"Dampaknya saat anak mengalami kejadian tetapi juga ke depannya anak alami permasalahan," beber Eva.
Maka dari itu, Eva mengimbau agar orangtua selalu memantau perubahan perilaku anak agar dapat ditangani sesegera mungkin. Dengan begitu, anak akan dapat perawatan tepat secara fisik dan psikis untuk mencegah trauma di masa depan.
"Tidak hanya berisiko untuk orang lain, tetapi untuk kesehatannya sendiri," tandas Eva.