Jessica Dipenjara, Pihak yang Menghalangi Autopsi Jasad Mirna Bisa Kena Pidana?

Kasus 'Kopi Sianida', Jessica Kumala Wongso
Sumber :
  • Screenshot berita VivaNews

VIVA Jabar - Kasus peristiwa maut yang menyeret Jessica Wongso pada tahun 2016 silam kembali mencuat. Pasalnya, hingga kini alat bukti yang dijadikan alasan putusan penjara kepada terdakwa masih belum jelas. 

Salah seorang yang menyangsikan putusan terdakwa kepada Jessica Wongso ialah dr. Djaja Surya Atmaja. 

Ahli Forensik yang juga sebagai saksi Ahli Sianida dari pihak terdakwa ini menjelaskan, dalam kasus sianida yang dialamatkan kepada Jessica Wongso patut dikaji ulang.

Sebab, kata Dia, alat bukti yang dijadikan pegangan hukum dalam putusan terdakwa, tidak transparan, subjektif dan penuh keraguan bahkan hingga kejanggalan.

Menurut Djaja, dari sisi korban belum ditemukan adanya kandungan racun sianida di tubuhnya.

Dikatakan Djaja, saat itu hanya ditunjukkan sampel bukan hasil autopsi yang menunjukkan bahwa korban benar-benar tewas karena konsumsi racun sianida.

Hal itu dikemukakan Djaja saat diundang menjadi narasumber di podcast dr. Richard Lee. 

Oleh karena itu, persepsi publik kembali terbelah dengan adanya keterangan tersebut.

Kasus

Photo :
  • Screenshot berita VivaNews

Penyebab kematian Mirna yang disebut akibat minum kopi Vietnam yang mengandung zat kimia sianida masih jadi perdebatan publik. 

Dalam podcast dr. Richard Lee, Dokter Djaja Surya Atmadja dengan penuh keyakinan mengatakan bahwa hingga sekarang dirinya masih membantah kalau penyebab kematian itu bukan karena sianida. 

Alasan yang mendasari argumen itu ialah karena tidak adanya kandungan zat kimia tersebut di dalam jasad Mirna. Kemudian, Djaja juga mengungkapkan apa yang dilakukan terhadap jasad Mirna itu bukanlah autopsi, melainkan sample di lambung jasad Mirna

Mendengar keterangan ahli terdakwa, ayah kandung korban, Edi Darmawan Salihin mengelak. Ia bersikeras kalau sang putri meninggal karena racun sianida yang dilakukan oleh Jessica Wongso.

Hal itu disampaikan Edi saat wawancara di acara Karni Ilyas, Jumat, 6 Oktober 2023 malam lalu.

Kasus

Photo :
  • Screenshot berita VivaNews

"Kenapa tidak diotopsi?," tanya Karni Ilyas.

"Diotopsi," jawab Edi Darmawan. 

"Sample aja," kata Karni Ilyas lagi. 

Melihat dari kasus ini, banyak yang beragumen atas kematian Mirna yang tak wajar dan kabar simpang siur perihal tindakan otopsi

Lalu apakah boleh berhukum terhadap orang yang meninggal tidak wajar, tapi tidak diotopsi? Dilansir dari VIVA, berikut penjelasan terkait:

Melansir laman hukumonline, Senin, 9 Oktober 2023, Instruksi Kapolri No. Pol: Ins/E/20/ IX/75 mengharuskan prosedur otopsi yang mesti ditaati dan dilaksanakan penuh oleh penyidik dengan bantuan ahli patologi forensik, tanpa terkecuali. 

“Seharusnya setiap perkara pembunuhan yang mengakibatkan kematian korban, mutlak dilakukan otopsi dari ahli kedokteran (patologi) forensik untuk menentukan penyebab kematian korban,” kata Pakar Pidana dari Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Romli Atmasasmita, saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional bertajuk 'Otopsi Sebagai Penentu Kematian Seseorang yang Tidak Wajar' di Universitas Pelita Harapan Jakarta.

Romli menegaskan meski secara umum telah diketahui penyebab kematian seseorang prosedur otopsi tetap perlu dilakukan. Hal ini sejalan dengan Pasal 134 ayat (1) KUHAP mengatur, 'Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban'. 

Menurut Romli, keterangan ahli termasuk ahli hukum pidana, tidak bisa menentukan penyebab kematian, kecuali keterangan mengenai teori hukum pidana yang bersangkutan dengan ketentuan Pasal 340 KUHP. 

"Pihak yang paling berwenang menyatakan penyebab kematian seseorang adalah dokter forensik,” tegasnya. 

Romli menyebut dalam perkara Jessica terdapat kerumitan dikarenakan bukti-bukti langsung atas peristiwa pidana tersebut tidak terungkap dengan jelas dan akurat.  Yakni, keterangan saksi yang tidak relevan dan tidak berkesesuaian satu dengan yang lain, fakta penyidik tidak mengikuti prosedur tetap untuk melakukan otopsi sesuai dengan standar internasional dan instruksi Kapolri. 

“Keterangan ahli forensik Australia yang berpengalaman memeriksa sebab kematian, menegaskan kewajiban mutlak otopsi telah diabaikan atau dikesampingkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili berkara tersebut,” ungkapnya. 

Dia menilai Instruksi Kapolri tentang keharusan melakukan prosedur otopsi sekalipun bukan setingkat Undang-Undang (UU), tetap saja merupakan rule of procedure yang mesti ditaati dan dilaksanakan penuh oleh penyidik dengan bantuan ahli patologi forensik, tanpa terkecuali termasuk soal izin orang tua/keluarga korban. 

Bahkan, apabila ada pihak-pihak yang menghalangi proses otopsi dapat diancam pidana sesuai yang diatur Pasal 222 KUHP. 

Begitupula seorang ahli di muka persidangan saat memberi keterangan berdasarkan keahliannya, seharusnya tidak menyimpulkan. Bahkan, memberikan kepastian atas keyakinannya bahwa terdakwa bersalah. 

"Ini suatu pernyataan yang tabu diucapkan seorang ahli baik di dalam maupun di luar persidangan,” kritiknya.