Ngaku Lulusan D3 Gunadarma Angkatan 97 Malah Jadi Pemulung di Subang

Raden Dadang Sukendar
Sumber :
  • Istimewa

 

VIVAJabar – Nasib seseorang memang sukar ditebak. Seperti yang dialami oleh Raden Dadang Sukendar yang merupakan anak seorang mantan dosen di salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Jakarta dan lulusan kampus ternama ini kini harus banting tulang menjadi seorang pemulung.

Kisah ini terungkap saat Kang Dedi Mulyadi (KDM) tak sengaja bertemu dengannya di sekitaran Subang. Saat itu Dadang tengah membawa karung bersama istrinya jalan berkeliling mencari barang bekas. Melihat itu, KDM pun mempersilakan keduanya untuk naik ke dalam mobil.

Di perjalanan terungkap bahwa Dadang mengaku anak seorang mantan dosen. Bahkan ia merupakan lulusan dari salah satu universitas di Jakarta.

“Saya lulusan D3 Gunadarma tahun 97, dulu belum universitas masih akademi. Bapak meninggal tahun 2016, beliau pensiunan dosen universitas di Jakarta," kata Dadang.

Dadang yang merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara itu mengatakan, ayahnya asli orang Subang namun bekerja dan memiliki rumah di Jakarta. Beberapa saudaranya pun masih ada yang tinggal di Jakarta.

Usai lulus kuliah di Gunadarma, Dadang bekerja sebagai pelayan toko. Kemudian ia juga pernah bekerja sebagai teknisi lift. Setelah berpindah-pindah pekerjaan ia memutuskan untuk pergi ke Subang yang merupakan tanah kelahiran ayahnya.

“Di sini kerja di Hotel Diamond, ceritanya cinlok sama istri pertama. Tapi karena istri ketahuan korupsi terus dikeluarkan, saya diceraikan. Saya juga keluar kerja pertama karena usia, kedua malu juga,” ucapnya.

Singkat cerita, Dadang yang sudah tak lagi muda pun bangkrut dan memilih menjadi seorang pemulung. Ia tinggal di rumah peninggalan ayahnya di Jalan Oto Iskandar Dinata, Subang. Dalam sehari ia bisa mengumpulkan uang Rp 30 ribu cukup untuk makan.

Politisi Gerindra Dedi Mulyadi

Photo :
  • Istimewa

Saat jadi pemulung ia pun bertemu dengan perempuan yang berusia jauh di bawahnya. Perempuan yang kini menjadi istrinya itu ditinggalkan oleh keluarganya karena dianggap memiliki keterbelakangan mental.

“Saya nikah sama dia karena kasihan tidak ada yang mengurus dulunya ngamen. Sekarang tinggal serumah sama saya dan ikut cari barang bekas,” ucapnya.

Meski hidup di bawah kemiskinan, Dadang mengaku tak pernah mendapatkan bantuan. Bahkan ia pernah melapor ke RT hingga dinas sosial namun tak pernah direspon. Namun ia tetap bekerja karena kini memiliki tanggungan seorang istri yang harus dinafkahi.

“KTP, KK punya, tapi belum pernah yang namanya disurvei atau apa, tidak pernah juga dapat bantuan. Kalau sakit paling makan obat warung, saya harus terus kerja, kalau enggak kasihan istri saya gak makan,” ujar Dadang.

Sementara itu KDM menilai kasus seperti Dadang banyak ditemui di sejumlah daerah. Seseorang yang dulunya dianggap mapan, memiliki pekerjaan bisa seketika mengalami kebangkrutan dan perlu bantuan dari pemerintah.

Hal itulah yang mendasari KDM memiliki gagasan agar pendataan penerima bantuan dilakukan oleh daerah dengan melibatkan RT, RW hingga desa. Sebab merekalah yang tahu kondisi masyarakat sekitar.

“Inilah pentingnya pengelolaan dan pendataan itu diserahkan ke daerah agar perubahan status seseorang bisa segera diperbaiki. Seperti bapak ini yang sebelumnya pernah bekerja kemudian ekonominya jatuh seharusnya mendapat perlindungan dari negara,” ujarnya.

Di akhir pertemuan Kang Dedi Mulyadi memberikan sejumlah bantuan berupa kebutuhan pokok dan uang sebagai bekal satu bulan ke depan. Tak hanya itu KDM pun akan membuatkan dan menanggung BPJS keluarga Raden Dadang Sukendar. (*****)