Film Dokumenter dalam Kasus 'Kopi Sianida' Nyata atau Fiksi Belaka?

Kasus 'Kopi Sianida', Ketua LSF (Rommy Febri) ikut bicara
Sumber :
  • Screenshot berita VivaNews

VIVA Jabar - Film dokumenter 'Ice Cold: Murder, Coffe and Jessica Wongso' telah lama dirilis. Film dokumenter ini pun sudah mulai ditayangkan di Netflix pada 28 September 2023 lalu. 

Sensasi Tak Terlupakan Nonton Biskop ScreenX CGV Grand Indonesia, Terbesar Kedua di Dunia

Film tersebut mengisahkan tentang tragedi maut yang menimpa Wayan Mirna Salihin. Ia meninggal dunia setelah meminum kopi yang diduga diberi racun sianida di sebuah kafe Olivier, Grand Indonesia Mall, Jakarta Pusat, 2016 silam.

Sejak film ini dirilis hingga resmi diluncurkan dan ditayangkan di Netflix, kasus yang menyeret nama Jessica Wongso ini kembali menjadi sorotan publik.

Xiaomi Luncurkan Smart Tower Heater Lite: Solusi Pemanas Ruangan yang Cerdas dan Efisien

Namun, jalan cerita yang dibangun dalam film tersebut menuai pro dan kontra. Ada yang menilai sebagai film dokumenter yang sesuai, ada pula yang menilai sebagai film fiksi.

Hadir sebagai Cincin Pintar Pertama, Samsung Galaxy Ring Mampu Bertahan Hingga 7 Hari

Salah satu tokoh yang mempersoalkan Film tersebut ialah Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia Rommy Febri.

Rommy ikut menanggapi polemik Film Ice Cold yang tayang di Netflix, yang memutar cerita soal pembunuhan Mirna dengan kopi sianida dalam kasus terpidana Jessica Kumala Wongso.

"Saya ikut memperhatikan komentar-komentar warga di media sosial. Mereka menyebut Jesica sampai divonis pun tak mengakui menaruh racun," kata Rommy saat dihubungi wartawan di Jakarta, Sabtu (7/10/2023)

Menurut Rommy, sepanjang film tersebut bukan dokumenter, maka akan dianggap fiksi. Bahkan dalam film dokumenter pun narasumber yang dihadirkan bisa melihat dari sudut pandang masing-masing.

"Maka dalam sebuah film, tak bisa dijadikan rujukan sebuah kasus. Film tak bisa langsung otomatis bertentangan dengan kasus hukum. Karena yang membuat adegan di dalam film dengan versi si pembuatnya," ujar Romny

"Melihat film tak bisa langsung seperti fakta hukum, walaupun ada banyak footage gambar di persidangan. Karena footage persidangan itu terbuka, tetapi fakta hukumnya juga cerita tersendiri," katanya.

Kasus

Photo :
  • Screenshot berita VivaNews

"Apa yang dikerjakan penyidik kepolisian, disajikan jaksa di pengadilan. Selama tak ada fakta baru yang berbeda dengan apa yang sudah diputuskan oleh pengadilan, apalagi sudah sampai Kasasi di Mahkamah Agung, hanya menjadi cerita saja. Bahwa di dalam Ice Cold lebih pada perdebatan versi masing-masing pihak itu cukup menarik," ujar Rommy

Berbeda misalnya karya jurnalistik liputan investigasi yang mampu menghadirkan neo factum, atau fakta baru. Itu pun hanya menjadi catatan saja. 

"Tidak otomatis bisa membuka (menggugat) putusan pengadilan. Kasus hukum bisa dibuka kembali jika ada temuan fakta baru," ujar mantan wartawan Majalah Tempo ini. 

Jadi menurut Rommy, dalam memproduksi sebuah film, sutradara bisa memunculkan penggambaran versi pribadi. Narasumber pun juga dengan versinya masing-masing. 

Olehnya, kata Rommy, penting untuk mencermati, terutama mereka yang terlibat polemik setelah menonton Film Ice Cold yang tayang di Netflik. 

"Penonton harus bisa membedakan apa itu fakta hukum sebagai realitas yang utuh dengan penggambaran film, yang bisa memiliki angle berbeda-beda," pungkasnya.