Film 'Ice Cold' Fakta Hukum atau Fiksi Belaka? Ini Kata Ketua IPW
- Screenshot berita VivaNews
VIVA Jabar - Kisruh kedua kubu di kasus 'Kopi Sianida' turut mengundang Indonesia Police Watch (IPW) angkat bicara. Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso minta masyarakat cerdas memahami perbedaan fakta hukum dengan cerita film fiktif belaka.
Sebagaimana diketahui, belakangan ramai diperbincangkan tentang penayangan perdana Film dokumenter berjudul 'Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso' di Netflix sejak 28 September 2023 lalu.
Film itu turut membentuk pandangan baru bagi masyarakat penonton dan mengulas kembali polemik di balik kasus pembunuhan seorang bernama Wayan Mirna Salihin dengan kopi sianida.
Menanggapi polemik tersebut, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso mengatakan, dirinya melihat 2 hal mendasar dari sisi isi Film Ice Cold.
Menurutnya, film Ice Cold membahas dua pokok, yakni apakah Wayan Mirna Salihin tewas karena racun sianida dan apakah Jessica Kumala Wongso adalah pelakunya.Â
Sugeng memberikan gambaran dari pembuatan sebuah film. Ia membedah suatu film mempunyai sisi ekonomi dan muatan motif dari si pembuat film. Menurutnya, di negara demokrasi seseorang sah membuat suatu karya film.Â
Meski demikian, kata Sugeng, masyarakat yang menikmati produk karya film juga harus dapat mengunyah pesan dan kesan dari film tersebut dengan baik.
"Sebagai satu produk yang bernilai ekonomis semua dalam tanda kutip pedagang termasuk pedagang ide yang membuat film harus mendapatkan pemirsa yang banyak. Pemirsa yang banyak ini senang dengan hal-hal kontroversi," kata Sugeng dalam keterangannya, Selasa (10/10/2023) lalu.
Dalam film Ice Cold tersebut, kata Sugeng, pembuat ingin menantang apakah benar Jessica Wongso pelaku pembunuhan dan Wayan Mirna Salihin tewas karena racun sianida.
Dengan hal tersebut, Sugeng menuturkan, si pembuat film membuat kontroversi yakni dengan menyuguhkan proses peradilan yang sudah final, yakni Wayan Mirna Salihin tewas karena racun sianida dan Jessica Wongso adalah pelakunya.Â
"Oleh karena itu menjadi pertanyaan ini film Ice Cold ini cerita tentang fiksi yang menggunakan latar belakang hukum atau ini adalah isu hukum. Ini harus dibedakan," ujarnya.Â
Sugeng pun melihat bahwa film Ice Cold adalah fiksi yang tidak sama sekali mewakili kebenaran hukum atau kebenaran material.Â
Sebab, menurutnya, kalau ingin mencari yang namanya kebenaran hukum, maka film Ice Cold bukan ukurannya, karena setiap film selalu menampilkan apa yang dikehendaki oleh si pembuat.Â
"Sementara pencarian hukum harus tunduk taat pada undang-undang," ujarnya.
Untuk itu, ia pun mengatakan masyarakat harus diliterasi bahwa film Ice Cold tidak sama sekali mewakili kasus hukum untuk mencari kebenaran. Film ini, harus dikunyah sebagai satu hiburan semata dan menambah wawasan.Â
"Kalau masyarakat mempunyai tanggapan dalam film ini itu hak masyarakat. Ini isu hukum yang dibahas tapi mereka meletakan dalam film," ujarnya.Â
Film ini, kata Sugeng, berimbas pada kerja satu institusi yakni kepolisian. Jika ingin meletakan film ini sebagai satu kebenaran hukum, maka Sugeng menyebut masyarakat harus melihat proses hukum yang telah dilalui.Â
Sugeng pun menjelaskan, kinerja kepolisian dalam kasus ini, melakukan penyelidikan dan penyidikan tidak bersifat final. Polisi, kata Sugeng, ada di tapis pertama yang diawali institusi yang namanya Kejaksaan.Â
"Kejaksaan mulai menyoroti kerja polisi sejak SPDP. Itu jaksa sudah nyorot sampai diawasi pemberkasan kalau ada kurang diberi petunjuk. Kalau dilengkapi kembali lagi dan kalau dinyatakan lengkap P21 maka berkas kerja polisi ini dinilai sudah memenuhi syarat secara hukum formil dan material Berarti sudah lolos satu tahap," katanya.Â
Kemudian, masih kata Sugeng, kerja polisi diuji lagi ditingkat pertama pengadilan yaitu di Pengadilan Negeri. Dalam tingkat ini, kerja polisi lolos lagi bahwa Mirna Salihin memang mati karena sianida dan Jessica adalah pelakunya.
Kemudian, kerja polisi diuji lagi di Pengadilan Tinggi dan kembali lolos lagi. Selanjutnya diuji lagi oleh putusan Mahkamah Agung dengan keputusan yang sama.Â
"MA ini yang memutuskan hakim Artidjo Alkostar orang yang punya reputasi. Keputusan sama dengan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yakni menghukum Jessica sebagai pelaku pembunuhan berencana dengan vonis 20 tahun dan menyatakan dalam pertimbangannya bahwa Mirna Salihin meninggal karena sianida. Ini sudah final ini yang namanya isu hukumnya," papar Sugeng.Â
Untuk itu, ia meminta masyarakat melihat film Ice Cold sebagai sebuah fiksi. Boleh beropini akan tetapi jangan kemudian opini tersebut menyerang proses peradilan.Â
"Film ini kan bukan menguji putusan pengadilan. Tetapi membuat forum sendiri tanda kutip peradilan sendiri dengan putusan Mirna tak mati karena sianida dan Jessica bukan pelakunya. Ini kan bertentangan. Oleh karena itu masyarakat kita kasih tahu yang benar. Nikmati film Ice Cold dengan gembira, kita boleh beropini apa saja tapi hormati proses hukum," demikian Sugeng