Tips Bangun Ekowisata Ala Ritno: Ramah Hutan, Ekosistem Terjaga hingga Dongkrak Ekonomi Warga
- Screenshot video Youtube @SATUIndonesiaAwards
VIVA Jabar - Hutan memiliki peran penting, strategis dan universal dalam kehidupan, terutama bagi keberlangsungan lingkungan hidup. Dalam ekowisata pun demikian, hutan berfungsi vital.
Urgensitas hutan dalam ekowisata sangat erat kaitannya karena menyediakan habitat bagi keanekaragaman hayati dan dapat menjadi daya tarik alam yang luar biasa bagi para wisatawan, bila dikelola dengan baik.
Namun demikian, untuk menciptakan hutan menjadi ekowisata diperlukan manajerial yang serius. Pengelolaan hutan dalam konteks ekowisata harus bijaksana dan berkelanjutan agar mampu memastikan pelestarian hutan primer dan sekunder yang berharga serta mendatangkan manfaat bagi warga di sekitar.
Hal itulah yang mendasari Ritno Kurniawan, pemuda berusia 31 tahun asal Padang Pariaman-Sumatera Barat (Sumbar), dalam mengubah Bukit Barisan di daerah Hutan Gamaran, Padang Pariaman-Sumbar menjadi ekowisata yang menjanjikan.
Ritno menceritakan, pada mulanya Ia melihat keadaan Bukit Barisan yang mulai terancam punah lantaran menjamurnya pembalakan liar. Bahkan, sungai sekitar Bukit Barisan pun terkesan keruh.
Mirisnya, pada saat pertama kali pulang kampung usai menyelesaikan studinya pada akhir 2012 lalu, Ia melihat Hutan Gamaran, Padang Pariaman, kerap digunduli. Setiap hari tak kurang 15-20 balok kayu dihanyutkan di sungai.
Dengan berbekal pendidikan yang Ia dapatkan di perkuliahan, nurani Ritno tergugah untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru melalui penggalian potensi ekowisata di daerah tersebut.
"Kita mulai kegiatannya dari bulan April tahun 2013. Rasanya ingin menyelamatkan hutan dan ingin mensejahterakan masyarakat dari resiko bencana yang kita lihat atau kita nampak di luar sumbernya dari kerusakan hutan," ucap Ritno di kanal Youtube @SATUIndonesiaAwards.
Pria lulusan Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada (UGM)-Yogyakarta, pada 2012 lalu ini, berencana mengubah Bukit Barisan menjadi Kawasan Minat Khusus Air Terjun Nyarai atau sekarang lebih dikenal dengan Kawasan Ekowisata Nyarai, Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumbar.
Tak semudah membalikkan telapak tangan, Ritno mengaku banyak mendapatkan kecaman dan penolakan dari para warga. Mereka enggan meninggalkan kebiasaan atau aktivitas mereka sebagai pembalak hutan atau ilegal loging.
Namun, Ritno tak putusa asa. Ia terus memberikan edukasi dan bimbingan agar warga benar-benar menyadari akan pentingnya upaya penyelamatan hutan dari ancaman dan kerusakan alam. Di sisi lain, ia pun harus meyakinkan warga tentang potensi ekonomi yang didapat bila mereka beralih menjadi pemandu wisata.
"Awalnya masyarakat menolak atau tidak mau karena takut mata pencaharian mereka terganggu. Yaitu keluarga hampir 90% lebih itu nebang kayu di hutan atau ilegal loging," terang Ritno
Seiring berjalannya waktu, warga akhirnya mau menerima tawaran Ritno. Perubahan itu pun disambut Ritno melalui pembentukan komunitas yang dinamai dengan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) LA Adventure (Lubuk Alung). Komunitas ini resmi terbentuk pada 5 bulan pertama, tepatnya bulan Agustus 2013 setelah Ritno melakukan pra-sosialisasi.
Alhasil, 'Kawasan Ekowisata Nyarai' pun terbentuk dan makin berkembang. Ritno memimpin 170 pemandu wisata. Hingga tahun ke-4, tepatnya pada tahun 2017, jumlah kunjungan wisatawan mencapai 1.500-2.000 orang per bulan. Para wisatawan terpesona dengan keindahan sejumlah air terjun yang ada di area Hutan Gamaran, salah satunya di 'Kawasan Ekowisata Nyarai'
Gerakan pendirian 'Kawasan Ekowisata Nyarai' mampu memberikan manfaat ekonomi bagi warga sekitar. Dulu, saat menjadi pembalak hutan, pendapatan mereka sekitar Rp 150 ribu per minggu. Namun, kini sebagai pemandu wisata mereka bisa mendapatkan Rp 50-80 ribu per hari. Hutan aman, lingkungan terjaga, pendapatan dan ekonomi Lubuk Alung pun berkembang.
"Manfaat yang dirasakan oleh masyarakat yang pertama adalah manfaat ekonomi. Dimana masyarakat sekarang ini sudah ada pendapatan baru yaitu pemandu wisata. Dan jika berjalan lancar malah dia lebih menguntungkan daripada membawa kayu di hutan," demikian Ritno.
Untuk itu, tak berlebihan bila Ritno yang dikenal sebagai penggagas sekaligus pendiri awal 'Kawasan Ekowisata Nyarai, Lubuk Alung, dijuluki pula sebagai sang 'Transformer Pembalak Liar'.
Atas kegigihannya di bidang peduli 'Lingkungan' itu, akhirnya Ritno Kurniawan diberi penghargaan di ajang Apresiasi 8th Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2017.
Ritno dinobatkan sebagai pelopor yang mampu memberikan inovasi baru bagi masyarakat di bidang sosial berkelanjutan sektor Pariwisata di daerah Padang Pariaman, Sumbar.
Program pendirian 'Kawasan Ekowisata Nyarai' dianggap mampu memberikan perubahan konstruktif bagi masyarakat sekitar yang awalnya mayoritas penduduk sebagai pembalak liar menjadi pemandu wisata.
Sekedar diinformasikan, program SATU Indonesia Awards merupakan wujud apresiasi Astra kepada generasi muda, baik individu maupun kelompok (komunitas) yang memiliki jiwa kepeloporan dan melakukan inovasi serta perubahan untuk saling berbagi dengan masyarakat sekitar, baik di bidang Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi, serta satu kategori Kelompok yang mewakili 5 bidang tersebut.
Program SATU Indonesia Awards terdiri dari 2 program unggulan, yaitu 'Kampung Berseri Astra' (KBA) dan 'Desa Sejahtera Astra' (DSA). Melalui kedua program unggulan ini diharapkan mampu berkontribusi dalam pengembangan ekonomi pedesaan berbasis potensi dan produk unggulan desa.
Sejak diadakan, Program SATU Indonesia Awards telah mengeluarkan kandidat-kandidat berprestasi di bidang masing-masing sejumlah 565 penerima dengan rincian: 87 penerima tingkat nasional dan 478 penerima tingkat provinsi. Jumlah ini tersebar di 170 KBA dan 1.060 DSA