Bila Gugat Cerai Tanpa Izin Atasan, Iptu AH Dibayangi Sanksi Ini

Peristiwa Perselingkuhan, Iptu AH & KDL (Makassar)
Sumber :
  • Screenshot berita VivaNews

VIVA Jabar - Usai membuat pelaporan dugaan 'tindakan pidana perzinahan' sang istri Karina Dinda Lestari (KDL) yang dilayangkan Iptu Alvian Hidayat (AH) ke Polda Sulsel, lantas dilanjutkan kembali ke proses pengajuan izin perceraian.

Suami Tusuk Istri Akibat Cemburu Buta di Subang

Iptu AH bertekad untuk pisah dan mengakhiri biduk rumah tangga yang telah dibinanya selama 1 tahun bersama KDL. Ia pun mengaku telah secara resmi mengajukan izin perceraian ke Kepala Satuan Kerja (Satkerja).

"Untuk menegaskan gimana nanti kelanjutan rumah tangga saya, sebagai info saya sudah ajukan gugatan perceraian ke lembaga," kata Iptu AH dalam keterangannya ke kantor berita jabar.viva.co.id, Sabtu (28/10/2023) kemarin.

Adik Bupati Cianjur Ditangkap, Diduga Terlibat Kasus Penipuan Proyek Fiktif Rp500 Juta

Hal itu, kata Dia, untuk memastikan bahwa keputusan perceraian menjadi jalan terbaik sekaligus sebagai respon atas pemberitaan yang mengesankan dirinya sebagai sosok pria yang plin-plan.

Viral, Aksi Anggota Lantas Polres Subang Saat Lepas Seragam Tutupi Jenazah Korban Kecelakaan

"Supaya menegaskan berita-berita yang beredar. Karena saya jadi kelihatan plin-plan di berita-berita tersebut," kata Iptu AH. 

Meski demikian, Iptu AH belum berkenan memberikan bukti dokumen permohonan izin gugatan cerainya. Ia hanya baru bisa memberikan keterangan tertulis mengenai proses rencana gugatan cerai ke Istri melalui kepala satuan kerja setempat.

Lalu, apakah permohonan izin gugatan cerai tersebut langsung serta merta dipenuhi? Bagaimana bila tidak mendapat restu dari pimpinan satker? Padahal Iptu AH adalah anggota kepolisian.

Melansir laman website Pengadilan Agama di Indonesia, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh anggota kepolisian jika ingin melakukan gugatan perceraian serta petunjuk yang musti dipedomani.

Peristiwa Perselingkuhan, Iptu AH & KDL (Makassar)

Photo :
  • Screenshot berita VivaNews

Berikut prosedurnya;  

1. Ketentuan umum tetap mengacu kepada UU. No. 1 Tahun 1974/PP. No.9 Tahun 1975,  Kompilasi Hukum Islam, HIR., PP.No. 10 Tahun 1983/PP No, 45 Tahun 1990 dan Ketentuan-Ketentuan Khusus Perkawinan dan Perceraian Bagi Anggota TNI/POLRI. 

2. Apabila Pemohon/Gugatan Cerai diajukan oleh anggota TNI (aktif), maka persyaratan administratifnya harus dilengkapi dengan SURAT IZIN untuk melakukan perceraian dari Atasan/Komandan yang bersangkutan, sebagaimana Surat Panglima TNI tanggal 20 September kepada Ketua MARI, tentang perceraian bagi anggota TNI. 

3. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang ingin mengajukan gugatan, harus mendapatkan izin tertulis terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang (atasannya). 

4. Pasal 19 Perkapolri No. 9/2010 mengatur bahwa setiap pegawai negeri pada Polri yang akan melaksanakan perceraian wajib mengajukan surat permohonan izin cerai kepada Kasatker (Kepala Satuan Kerja). 

5. Pelanggaran terhadap Perkapolri No. 9/2010, termasuk melakukan perceraian tanpa seizin atasan, maka akan dijatuhi sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (lihat Pasal 33 Perkapolri No. 9/2010). 

6. Menurut Pasal 15 jo Pasal 13 ayat (1) PP No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil yang menyatakan jika Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang akan melakukan tidak memperoleh izin atau surat keterangan dari pejabat, maka akan dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat yang diatur dalam PP No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS (“PP No. 30/1980”). 

Adapun hukuman disiplin berat yang diatur dalam PP No. 30/1990 mencakup: 

  • Penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 1 (satu) tahun.
  • Pembebasan dari jabatan.
  • Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai pegawai Negeri Sipil; dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.

7. Apabila Permohon/Gugatan Cerai belum dilengkapi dengan SURAT IZIN, Majelis Hakim menunda persidangan dan memerintahkan kepada yang bersangkutan untuk mengurus/menyelesaikan izin tersebut ke atasan/komandannya. 

8. Penundaan persidangan maksimal 6 bulan (Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Petunjuk Pelaksanaan PP Nomor 10 Tahun 1983. 

9. Apabila penundaan telah berjalan 6 bulan, namun yang bersangkutan belum memperoleh izin dari atasan/komandannya), apabila yang bersangkutan tetap hendak melanjutkan perkaranya tanpa SURAT IZIN dari atasan/komandannya, maka (“demi” perlindungan hukum atas majelis hakim), maka yang bersangkutan harus/wajib membuat SURAT PERNYATAAN BERSEDIA MENERIMA RESIKO akibat perceraian tanpa izin, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan.