Jessica disangkakan Pasal 340 Bukan 338 KUHP, Ini Alasan Hakim

Kasus 'Kopi Sianida', Jessica Kumala Wongso
Sumber :
  • Screenshot berita VivaNews

VIVA Jabar - Terpidana kasus 'Kopi Sianida, Jessica Kumala Wongso dikenakan sanksi pidana lebih berat dengan hukuman penjara 20 tahun. Hal itu karena ada unsur perencanaan, bukan pembunuhan biasa.

Anggota Hakim, Dr. Binsar Gultom mengatakan, dalam kasus yang menjerat Jessica Kumala Wongso diduga kuat melanggar pasal 340 KUHP bukan pembunuhan biasa alias pasal 338 KUHP. 

Ia menuturkan, tentang perlu atau tidaknya mencari motif dari pembunuhan berencana. Meski dalam unsur 340 KUHP tidak disebutkan tentang motif, namun menurutnya motif sangat diperlukan.

“Memang di dalam unsur 340 KUHP itu tidak ada kata istilah motif,” kata Binsar Gultom di acara talkshow Rosiana Silalahi, belum lama ini.

Dikatakannya, mencari motif dalam setiap kasus itu sangat diperlukan. Sehingga, dengan motif itu seseorang melakukan tindak pidana, apalagi dengan direncanakan.

"Sangat perlu, apalagi di dalam perencanaan sudah terencana, tersistemik, terstruktur, pasti ada yang menyebabkan dia mau melakukan sesuatu,” ungkap Binsar. 

Namun, Rosiana Silalahi menyanggah pernyataan sang hakim tersebut, pasalnya jika unsur dalam KUHP tersebut sudah terpenuhi seharusnya motif sudah tidak diperlukan lagi. 

“Tapi mengapa itu harus dicari oleh hakim? Bukankah kalau unsur yang sudah terpenuhi, yang merencanakan itu dengan tenang, memiliki waktu untuk merencanakan, dan mengeksekusinya, jadi unsur yang sudah terpenuhi buat apa lagi dicari motif?” sanggah wanita yang akrab disapa Rosi itu. 

Binsar Gultom merespon sanggahan tersebut. lebih lanjut, Ia menjelaskan bahwa tanpa adanya sebab-akibat tidak bisa disebut sebagai pembunuhan berencana, melainkan hanya kasus pembunuhan biasa yang termasuk dalam 338 KUHP.  

“Karena tanpa sebab tidak ada akibat, nah kalau dia langsung katakan membunuh tanpa ada sebab, itu kan berarti pembunuhan biasa 338 KUHP,” jelasnya.  

Kasus

Photo :
  • Screenshot berita VivaNews

“Tapi karena ini ada perencanaan, teori-teori yang berkembang tadi tidak perlu di dalam unsur itu memang tidak diperlukan, akan tetapi itu sangat berkaitan dengan penjatuhan pidana,” sambungnya.  

Selain itu, motif juga diperlukan untuk mempertimbangkan berat atau ringannya hukuman yang akan diberikan kepada pelaku. 

Sementara, untuk kasus Wayan Mirna Salihin sendiri disebutkan, pihaknya telah mengetahui apa yang masuk akal dan tidak masuk akal.  

“Itu perlu dilihat, saya kira di situ motif itu tetap perlu di dalam mepertimbangkan berat ringannya pemidanaan,” terang Binsar.  

"Karena tanpa kita mencari causalited itu nanti pemidanaannya itu jadi sesat dan kalau ditanyakan mengapa, karena kami sudah tahu 'ada yang masuk akal' (dan) 'ada yang tidak masuk di akal' ya motif yang termasuk kepada korban Mirna waktu itu,” pungkasnya.