Begini Hukumnya Nikah Beda Agama
Viva Jabar – Banyak selebriti yang nikah beda agama. Seperti Jamal mirdad dan Lidya Kandou, Rio Febrian dan Sabria kono, Jennifer kurniawan dan Irfan Bachdim, Dimas Anggara dan Nadine Chandrawinata.
Ulasan kali ini, tim viva menghimpun dari beberapa sumber terpercaya. Mengutip dari berbagai ulama dan cendekiawan muslim terkait nikah beda agama. Alasan kebolehannya dan tidak bolehnya.
Beberapa tahun lalu mungkin masih ingat dengan hebohnya buku " Fiqih Lintas Agama" yang ditulis Tim Penulis Paramadina seperti Nurcholis Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F . Masudi, Zainun Kamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawwar Rachman, Ahmad Ghaus AF, dan Mun'im Sirry.
Masyarakat masih sensitif dan resisten terhadap nikah beda agama. Karenanya buku tersebut heboh disebabkan mengulas kawin beda agama. Bagi sebagian masyarakat diyakini sebagai sesuatu tabu dan masih haram.
Berbeda dengan masyarakat, kalangan cendekiawan di atas mengulas dengan alasan jelas di bukunya terkait nikah beda agama. Kawin beda agama atau nikah beda agama memang berhubungan dengan keyakinan seseorang dan ibadahnya. Karena berhubungan dengan keyakinan dan ibadah, lantas bagaimanakah hukum kawin beda agama?
Melansir dari NU online yang ditulis oleh KH. Cholil Nafis, Dosen Hukum Islam PSKTTI Universitas Indonesia dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Beliau mengulas nikah beda agama dari persfektif ilmu tafsir serta merujuk ke pendapat salaf dan khalaf.
Beliau menulis dan mengutip Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 4 menjelaskan bahwa, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan". Pasal 40 menyebutkan, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; seorang wanita yang tidak beragam Islam.
Lebih lanjut, beliau menulis, Lebih tegas lagi larangan menikah beda agama pada Pasal 44: "Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam". Pasal 61 disebutkan: "Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien."
"Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman. Sesungguhnya seorang budak perempuan yang mu'min itu lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu dan janganlah kalian menikahkan laki-laki musyrik (dengan Wanita Muslimah) sehingga mereka beriman. Sesungguhnya budak laki-laki yang beriman itu lebih baik dari pada orang musyrik sekalipun dia menarik hatimu. Mereka itu mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya, dan Allah menjelaskan ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran” (QS Al-Baqarah: 221).
Dalam tulisan selanjutnya, beliau mengutip riwayat yang diceritakan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Wahidi yang bersumber dari al-Muqatil adalah berkenaan dengan Ibnu Abi Martsad al-Ghanawi yang meminta izin kepada Rasulullah saw untuk menikahi anak seorang wanita Quraisy yang miskin tapi cantik yang dulu menjadi kekasihnya sebelum masuk Islam, namun masih musyrikah. Sedangkan Ibnu Abi Martsad adalah seorang Muslim. Rasulullah SAW melarang sahabatnya untuk menikahinya. Lalu Allah menurunkan ayat ini. (Tafsir Al-Baghawi).
Ibnu Katsir mengulas tafsir ayat di atas, bahwa Allah SWT mengharamkan bagi orang mukmin menikah dengan orang musyrik yang menyembah berhala.
tetapi Ibnu Katsir mengecualikan pernikahan orang muslim dengan perempuan Ahli Kitab dengan landasan ayat Al-Qur'an yang menjelaskan hukum pernikahan beda agama adalah Surat al-Maidah ayat 5:
"Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Al-Maidah: 5).
Beliau kemudian mengutip pandangan Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah beda agama. Fatwa itu ditetapkan dalam Muktamar Ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989. Ulama NU dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah.
Tak ketinggalan, beliau juga mengutip hasil majelis tarjih Muhammadiyah dalam keputusan Muktamar Tarjih Ke-22 tahun 1989 di Malang Jawa Timur telah mentarjihkan/menguatkan pendapat yang mengatakan tidak boleh menikahi wanita non-muslimah atau Ahlul Kitab, dengan beberapa alasan sebagai berikut:
Ahlul Kitab yang ada sekarang tidak sama dengan Ahlul Kitab yang ada pada waktu zaman Nabi SAW. - Semua Ahlul Kitab zaman sekarang sudah jelas-jelas musyrik atau menyekutukan Allah SWT, dengan mengatakan bahwa Uzair itu anak Allah (menurut Yahudi) dan Isa itu anak Allah (menurut Nasrani). - Pernikahan beda agama dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan keluarga sakinah sebagai tujuan utama dilaksanakannya pernikahan. - Insya Allah umat Islam tidak kekurangan wanita Muslimah, bahkan realitasnya jumlah kaum wanita Muslimah lebih banyak dari kaum laki-lakinya.
Di akhir tulisannya, beliau menyimpulkan bahwa pernikahan beda agama tidak sah menurut ulama salaf dan khalaf.
Melansir dari sumber yang sama, yang mengutip pendapat Prof. Dr. Ali Jumah termasuk yang tegas menyatakan keharamannya. Mufti Republik Mesir 2003-2013 ini pernah diminta fatwa: “Apakah boleh wanita muslimah menikah dengan lelaki ahli kitab—Yahudi dan Nasrani—?” Lalu dengan tegas ia menjawab:
"Tidak boleh bagi wanita muslimah untuk menikah dengan lelaki non muslim secara mutlak. Bila hal itu terjadi maka pernikahannya batal dan relasi antara dua pasangan yang nekat melakukannya termasuk relasi zina yang diharamkan syariat.” (Hal Yajûzu lil Muslimah An Tatazawwaja Rajulan Kitabiyyan, Fatwa Dârul Iftâ-il Mishriyyah, 12 Februari 2012, oleh Mufti Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad).
Mengutip dari buku " Fiqih Lintas Agama" tentang ulasan nikah beda agama. Di bawah ini ada beberapa ulasan mengenai nikah beda agama.
Seperti yang telah ditulis oleh Tim Penulis Paramadina, Imam al-Razi berpendapat bahwa Yahudi dan Nasrani disebut Musyrik. Kategorinya, karena Yahudi menganggap Uzair anak Tuhan, sedangkan Nasrani menganggap Isa anak Tuhan.
Dalam ulasan yang ditulis di buku tersebut, pandangan tersebut tidak serta merta bisa dijadikan pegangan, karena dalam ayat lain ditemukan paradigma lain tentang musyrik. Dalam ulasan buku itu, Allah memilih dan menempatkan kata dan istilah yang tepat, karenanya, Allah tidak menyebut semua yahudi dan nasrani sebagai orang musyrik. Allah tetap memanggil mereka dengan sebutan Ahli Kitab.
Ahli kitab, lanjut tulisan di buku tersebut, adalah orang yang mempercayai salah seorang nabi dari nabi-nabi dan salah satu kitab dari kitab-kitab samawi, baik sudah terjadi penyimpangan pada mereka dalam bidang akidah atau amalan.
Lebih lanjut Penulis menyitir ayat al-Quran, jika Allah SWT berfirman dalam surat al-baqarah:2 : 221 : " Janganlah kamu menikah dengan perempuan- perempuan musyrik sebelum mereka beriman" . Maka tidak tepat bila ayat al-Quran itu dipahami bahwa yang dimaksudkan dengan perempuan musyrik itu adalah perempuan ahli kitab.
Menurut tim penulis paramadina yang menulis buku tersebut, memasukkan non-muslim sebagai musyrik ditolak dengan berbagai alasan diantaranya karena perbedaan antara orang-orang musyrik dan ahli kitab ( Yahudi dan Kristen), ayat mengenai larangan menikahi non muslim terkait dengan situasi tertentu, dulu masyarakat arab menyebut tiga kelompok masyarakat di luar mereka dengan sebutan al-akhar, alasan paling fundamental adalah adanya Q.S al-Maidah : 5 yang berbunyi: " hari ini telah dihalalkan kepada kalian segala yang baik, makanan ahli kitab, dan makanan kalian juga halal bagi ahli kitab. Begitu pula wanita-wanita janda mukmin dan Ahli kitab sebelum kalian".
Lantas bagaimanakah dengan selain Yahudi dan Nasrani ( Kristen)? Apakah selain keduanya disebut musyrik? Nurcholis Madjid, mengulas tentang, apakah mereka dikategorikan sebagai Ahli kitab atau bukan. Ahli kitab tentu punya kitab pegangan dalam agama mereka.
Perbedaan bedah nikah agama tentu perbedaan sampai saat ini masih diperdebatkan. Tetapi, demi kemaslahatan bersama, maka Sejumlah keputusan sudah diputuskan oleh Cendekiawan dan Negara.