Hari Anak Nasional Momentum Akselarasi Cegah Anak Indonesia Bebas dari Disleksia

Ilustrasi Diseleksia
Sumber :
  • Pinterest

VIVAJabarHari Anak Nasional (HAN) yang diperingati setiap tanggal 23 Juli  merupakan momentum penting untuk menggugah kepedulian seluruh komponen bangsa Indonesia, baik dalam menjamin pemenuhan hak anak atas hak hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Peringatan Hari Anak Nasional 2024, Jasa Tirta II Santuni Anak Yatim dan Dhuafa

Yayasan Lentera Insan Kreatif (LINK Foundation) adalah salah satu komponen yang bekerjasama dengan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Bandung, lembaga pendidikan yang sejak tahun 1999 berdedikasi untuk mengoptimalkan perkembangan anak Indonesia ini, merespon peringatan HAN dengan memberikan sosialisasi dan edukasi mengenai kesulitan belajar spesifik atau disleksia untuk 225 anak binaan di LPKA Kelas II Bandung, Jl. Pacuan Kuda No. 3, Sukamiskin, Arcamanik, Bandung, Rabu, 24 Juli 2024.

Momentum ini merupakan bagian dari pelepasan “Gerakan Bhinneka” yang diusung LINK Foundation. Gerakan untuk Indonesia inklusif yang bertujuan mulia guna memberdayakan guru melalui Pelatihan Literasi dan Matematika serta Kiat Praktis Menguak Potensi Anak dengan kesulitan belajar sehingga guru mampu memahami perbedaan cara belajar anak dan bisa mendukung kematangan sosial emosional.

Sambut Hari Anak Nasional, CSR WIR Group dan Batumbu Dukung Jambore Yayasan Sahabat Anak

Sebagai lembaga yang mengedepankan pendidikan yang holistik, integratif, dan inklusif melalui pendekatan multisensori dan personal sehingga mampu mengakomodasi beragam cara berpikir siswanya, menghadapi berbagai permasalahan anak yang lebih kompleks, tentunya dapat menjadi momentum partisipasi yang positif dalam menangani permasalahan anak. 

Belum lagi, hal ini nyatanya sejalan dengan spirit menanamkan nilai-nilai positif pada anak dan segendang seirama dengan tema HAN tahun 2024 yaitu “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”.

Teknologi Canggih Hadirkan Mesin Cuci Masa Depan, Bisa Hemat Energi dengan Teknologi Water Reserve

Menurut Laurentia Mira, S.H., Dipl. Montessori selaku The Chairperson of Yayasan Lentera Insan Kreatif, sosialisasi dan edukasi bagi 225 anak binaan LPKA Bandung pada prinsipnya merupakan upaya untuk mengurai, mengidentifikasi dan membantu anak-anak dengan kesulitan belajar spesifik atau disleksia di berbagai lapisan masyarakat.

Atau mengupayakan untuk mengenal terlebih dahulu atau menumbuhkan kesadaran tentang apa itu disleksia dan bagaimana anak kemudian mengetahui dan menyadari potensi diri dan rasa percaya dirinya masing-masing.

Yayasan Lentera Insan Kreatif (LINK Foundation)

Photo :
  • Istimewa

Terlebih  lagi, hal tersebut diperkuat dan merujuk pada data temuan United NoticeAbility Dyslexia Network (organisasi nirlaba asal Amerika Serikat yang berkomitmen untuk memberdayakan individu penderita disleksia di seluruh dunia), yang menyebutkan bahwa 50% penghuni Lembaga Pemasyarakatan di Amerika Serikat adalah anak dengan disleksia. Dan tidak menutup kemungkinan hal demikian juga terjadi di belahan dunia yang lain, tak terkecuali di Indonesia.

“Dalam perkembangannya, salah satu hasil penelitian United NoticeAbility Dyslexia Network menunjukkan bahwa anak-anak yang kesulitan belajar spesifik itu banyak sekali yang hidupnya berakhir di balik jeruji,” ujarnya dalam keterangannya, Kamis 25 Juli 2024.

Menariknya lagi, timpal Laurentia Mira, presentase anak dengan disleksia juga berbanding lurus dengan temuan data lain yang menyebutkan jika 60% CEO (Chief Executive Officer) dan para pengusaha yang berhasil di dunia juga merupakan anak-anak dengan kesulitan belajar spesifik, namun dengan situasi sebagai anak-anak yang cenderung lebih terselamatkan dan terbantu.

“Kalau kita bisa membantu mereka, maka mereka tidak akan menjadi ‘lost generation’. Kalau kita tidak membantu mereka maka ketika ledakan demografis Indonesia terjadi pada tahun 2045, kita akan sangat berpotensi memiliki sumber daya manusia yang gagal. Dan kita ingin mencegah semua itu terjadi,” katanya. 

Dan lagi di sisinya yang lain mereka memang memiliki potensi yang sangat besar untuk membangun bangsa ini menjadi semakin maju dan berkembang di kemudian hari. Menurutnya, pihaknya bisa membantu anak-anak yang kesulitan belajar di tiga hal, yakni membantu kesulitan di wilayah literasi, matematika, dan pembelajaran yang berkenaan dengan sosial emosional. Ketiga hal tersebut menjadi sangat fundamental karena anak-anak dengan kesulitan belajar spesifik biasanya memiliki kecenderungan emosional yang kurang begitu baik dan tidak terkontrol.

“Anak dengan disleksia itu memiliki kecenderungan merasa dirinya punya ‘self-esteem’ yang rendah. Selalu merasa tidak mampu dan merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Kami memiliki program yang bisa membantu mereka untuk keluar dari permasalahan tersebut, membantu mereka mengubah image diri yang kurang baik menjadi image diri yang lebih baik,” tegas Laurentia Mira.

Oleh karena itu dalam metode sosialisasinya, Yayasan Lentera Insan Kreatif mengajak 225 anak binaan LPKA Bandung dalam dua pendekatan reflektif, yaitu permainan dan gambar (salah dua solusi yang dipilih berdasarkan keterbatasan waktu).

Lewat permainan, anak-anak diajak untuk menggali potensi dirinya masing-masing. Penekanannya agar mereka menyadari memiliki potensi diri, bahwa mereka adalah pribadi yang bisa jadi lebih baik lagi, dan mereka bisa menjadi penolong dengan potensi-potensi yang dimilikinya itu. Sedangkan dengan menggambar, anak diajak untuk merefleksikan tentang siapa mereka sekarang dan siapa mereka di masa mendatang.

Adapun perihal “Gerakan Bhinneka” sendiri, kata Laurentia Mira, dalam praktiknya akan diselenggarakan di seluruh Indonesia secara road show ke 23 Kota di 11 Provinsi yang tersebar di seluruh Indonesia dengan melibatkan organisasi United NoticeAbility Dyslexia Network sebagai kolaborator.

“Di setiap kota yang dikunjungi, kami akan bertemu dengan orang tua dan guru dengan target capaian hingga 2000 orang. Mereka akan diberikan pembelajaran tentang bagaimana caranya mengidentifikasi anak-anak dengan kesulitan belajar spesifik. Di luar itu, kami juga akan meluncurkan buku berjudul ‘Noticing Abilities’, di mana di dalam buku itu sudah tertulis sumbangsih dari berbagai praktisi terkait, baik dari pendidik atau tenaga pengajar, dokter, psikolog, termasuk dari partner kita di luar negeri yang kami nilai memiliki kompetensi dan mengetahui bagaimana caranya membantu anak-anak yang punya kesulitan belajar,” katanya memaparkan.

Lebih jauh, gerakan semacam ini bukan tidak memiliki tantangan yang besar. Secara teknis, dibutuhkan dukungan yang bersumber dari berbagai lapisan aspek, termasuk di ranah pendidikan dan aspek terkait lainnya. Sejauh ini saja, sekolah yang terbuka untuk membantu anak-anak dalam kesulitan belajar spesifik lebih banyak berasal dari sekolah-sekolah PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), ‘home schooling’, dan atau sekolah-sekolah swasta yang sebelumnya memang sudah memiliki program pendampingan anak-anak istimewa.

“Keinginan kami, program ini bisa masuk ke sekolah-sekolah umum dan setiap sekolah umum tersebut pada saatnya nanti akan memiliki program khusus untuk membantu anak-anak yang kesulitan belajar. Agar mereka (baca: sekolah umum) tidak hanya melihat anak-anak ini sebagai anak-anak yang malas, bodoh, atau anak-anak yang berulah saja. Mereka juga harus mau membantu dan mampu membantu. Target itu yang hendak kami gapai,” ujarnya.

Dengan berbagai dinamika dan tantangannya, visi terdekat dari gerakan ini pada akhirnya tidak terlalu muluk-muluk di awal, dan lebih kepada agar masyarakat di Indonesia bisa mengenali terlebih dahulu apa itu disleksia atau seperti apa ciri anak dengan kesulitan belajar spesifik. Pasalnya, di bayangan masyarakat umum saja, anak dengan disleksia itu sulit untuk diidentifikasi dan anak-anak dengan disleksia, misalnya, tidak terlihat seperti anak-anak dengan ciri berkebutuhan khusus.

“Perbedaan mereka itu ada di cara kerja otaknya yang tidak sama dengan anak-anak lain. Stereotype yang lumrah terjadi terhadap mereka itu mereka dikenal sebagai anak-anak yang malas, bodoh, dan suka berulah. Padahal, mereka itu memiliki kondisi khusus yaitu kesulitan belajar spesifik atau disleksia. Sulit sekali untuk melihat anak-anak ini. Di tengah masyarakat pun posisi mereka seperti ada di wilayah yang abu-abu. Berkebutuhan khusus tidak, tipikal juga tidak, karenanya ada metode pembelajaran yang khusus agar anak-anak ini bisa optimal,” terangnya. ********