Indonesia Tak Punya Kepastian Hukum Penyelesaian Kerugian Immateriil Kasus Wanprestasi

Ilustrasi Hukum
Sumber :
  • Pinterest

Jabar, VIVA - Peneliti Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), Rai Mantili mengungkapkan perkara kerugian immateriil dalam kasus wanprestasi memerlukan kepastian hukum. Indonesia dinilai belum memiliki dasar hukum memperkuat jaminan hukum dalam kerugian immateriil.

Kronologi Dua Mahasiswa Unpad Tewas Tersambar Petir saat Kemping di Batu Kuda

Hal ini berakibat pada proses peradilan sulit membuktikan kerugian immateriil yang diajukan penggugat. Rai menyampaikan gugatan ganti kerugian immateriil semakin banyak dilayangkan dalam berbagai kasus perbuatan melawan hukum ataupun wanprestasi. 

Tuntutan immateriil tersebut meliputi ganti rugi seperti kecemasan, stres, hingga kerugian lain yang tidak dapat diukur secara material. Namun, menurut Rai, belum ada landasan hukum yang jelas untuk mengukur kerugian tersebut di Indonesia.

Almas Gugat Gibran Gegara Tak Ucapkan Terima Kasih Usai Putusan MK

Peneliti Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Rai Mantili

Photo :
  • Istimewa

“Belum ada aturannya (undang-undang). Dalam kejadian sehari-hari, banyak orang menggugat ganti rugi immateriil, tetapi belum ada aturannya. Padahal kita adalah negara hukum, apa-apa harus ada aturannya agar ada kepastian hukum,” ujar Rai dalam podcast Hasil Riset dan Diseminasi (HaRD Talk) Universitas Padjadjaran yang diunggah kanal YouTube @unpad, Rabu25 September 2024.

Dukung Inisiasi Green Campus, Beam Mobility Luncurkan Layanan Mikromobilitas di Unpad

Dengan kondisi itu, Hakim saat mengadili kerap kesusahan dalam membuat putusan karena  tidak memiliki pedoman apapun untuk menghitung, menilai, maupun memberikan putusan terkait jumlah ganti rugi yang harus dibayar.

“Bisa saja melihat putusan hakim terdahulu, dijadikan pedoman hakim selanjutnya. Tapi kan itu berbeda, bukan sumber hukum pertama. Sumber hukum pertama itu kan Undang-undang,” lanjutnya.

Gugatan Bernilai Fantastis

 

Ilustrasi Keuangan

Photo :
  • Pinterest

 

Rai menilai kondisi ini pun selalu membuat penggugat melayangkan ganti rugi fantastis. Hal ini juga harus dibenahi karena seharusnya penggugat mempertimbangkan kondisi dan kapasitas seseorang yang akan menjadi tergugat dalam perkara wanprestasi.

“Karena tidak ada aturannya, jadi penggugat minta saja ganti rugi sebanyak - banyaknya. Nanti kan terserah hakim berapa yang dikabulkan. Yang penting dengan nilai segitu atau dibawahnya,” katanya.

“Rata - rata hakim akhirnya memutuskan nggak mengabulkan gugatan, karena takut salah mungkin ya. Jadi yang dikabulkan hanya gugatan materialnya,” lanjut Rai.

Rai juga membandingkan produk hukum yang dimiliki Belanda, sebagai salah satu negara yang menjadi acuan pembuatan produk hukum di Indonesia. Menurutnya, Belanda menjadi negara yang menetapkan kepastian hukum perdata terkait kerugian immateriil melalui pembentukan undang - undang.

“Mengenai pembuktian dan lain sebagainya memang belum ada, tetapi sudah ada definisinya setidaknya. Jadi, untuk tuntutan tersebut yang melawan hukum dan wanprestasi sudah bisa digugat,” jelas Rai.

Selain Belanda, Rai juga meneliti hukum perdata wanprestasi di Inggris dan menemukan ada pedoman jelas terkait kerugian immateriil di Inggris. Pedoman di Inggris, lanjut Rai, disusun para ahli berbagai bidang, mulai dari akademisi, kepolisian, jaksa, hingga pengacara. 

 

Ilustrasi Hukum

Photo :
  • Pinterest

 

Pedoman tersebut pun merujuk pada putusan hakim sebelumnya atau yurisprudensi. “Jadi bagaimana cara penghitungan kerugiannya, lalu ada tingkatannya, untuk bisa mengukur kerugian immateriil dari suatu kejadian,” kata Rai.

Pemahaman Rendah

Rai mengungkapkan, mulai dari profesi pengacara sekalipun belum memiliki pemahaman terukur  terhadap penyelesaian kerugian immateriil. Termasuk, membedakan antara kerugian material dan immateriil.

“Saya juga melihat lawyer pun sepertinya dalam menetapkan ini kerugian material atau immateriil masih campur aduk ya,” lanjutnya.

Rai mengaku bobot penghitungan kerugian immateriil cukup rumit dan bisa berubah berdasarkan kondisi status sosial. Semakin tinggi status sosial seseorang, biasanya kerugian immateriil yang tuntutkan semakin besar.

“Contohnya ketika pencemaran nama baik terhadap seorang Presiden dengan seorang ketua RT, itu kan pasti berbeda ya nilai kerugiannya secara status sosial,” katanya. ****