Bertani di Tengah Kota, Vania Febriyantie Menginspirasi dengan Seni Tani
VIVAJabar – Pertanian merupakan sektor penyangga ketahanan pangan masyarakat Indonesia. Jika sektor ini lemah, maka ketahanan pangan rakyat juga akan menipis. Bahkan, pemerintah mengambil langkah impor hasil pertanian luar negeri seperti beras, jagung dan gandum saat jumlah produksi pertanian dalam negeri lebih sedikit dari kebutuhan.
Hal tersebut menunjukkan betapa sektor pertanian benar-benar penting dan menjadi tumpuan dari kebutuhan hidup. Karenanya, kegiatan cocok tanam tersebut sangat prospek dan memiliki nilai ekonomi tinggi di masa depan.
Namun, di saat dunia global menyadari betapa pentingnya sektor pertanian, mayoritas pemuda Indonesia malah meninggalkannya dan memilih pekerjaan di bidang industri dan start-up atau menjadi pegawai negeri sipil (PNS) yang pendapatannya secara matematis lebih pasti daripada bertani.
Kondisi tersebut terjadi di kalangan pemuda desa yang memang berlatar belakang petani. Sehingga tidak heran jika data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa petani saat ini didominasi oleh kalangan tua dengan usia 40 hingga 60 tahun. Jika ini dibiarkan maka Indonesia akan krisis petani dan ketahanan pangan kita akan terancam.
Akan tetapi, di saat hampir semua pemuda punya rasa gengsi bertani, ada sosok pemuda kelahiran Lhokseumawe yang punya perspektif berbeda tentang pertanian. Dia adalah Vania Febriyantie, Sarjana Biologi yang menginspirasi, petani milenial yang mampu membangkitkan kesadaran orang-orang sebayanya, bahkan menularkan kegemaran bertani pada orang-orang sekitarnya.
Alumnus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung ini memiliki cara unik sehingga bertani menjadi menarik. Vania memilih konsep urban farming yang merupakan teknik bertani di tengah kota. Jadi, bercocok tanam tidak selalu di desa dan lingkungan berlumpur.
Awalnya, saat pandemi Covid-19 melanda kebutuhan akan hasil pertanian mulai berkurang terlebih di lingkungannya, Kelurahan Sukamiskin, Kecamatan Arcamanik, Bandung. Perempuan kelahiran 1993 itu memutar otak dan akhirnya memanfaatkan lahan milik pemerintah setempat yang tidak digarap.
Bersama beberapa temannya, Vania Febriyantie akhirnya mendirikan komunitas Seni Tani. Komunitas inilah yang menggalakan konsep urban farming, yakni bercocok tanam di tengah kota dengan lahan seadanya.
Selanjutnya bersama Seni Tani, Vania Febriyantie menggarap lahan-lahan tidur tersebut dan membaginya menjadi dua area, yaitu Area Kebun Komunal dan Area Kebun Produksi.
Are Kebun Produksi dibuka untuk umum, yakni warga atau sukarelawan yang ingin ikut berkebun bersama pada hari Minggu pagi. Mereka berkebun sembari membuat produksi pupuk, membuat eco enzym serta pupuk olahan lain yang mendukung kegiatan bertani sehingga warga punya pengetahuan dan keterampilan membuat pupuk.
Kemudian untuk Are Kebun Produksi digunakan untuk menanam tanaman holtikultura seperti sayur-mayur yang nantinya akan didistribusikan dengan sistem community supported agriculture (CSA), sebuah sistem yang mengharuskan anggota komunitas Seni Tani membayar biaya langganan di awal musim tanam.
Sistem CSA tersebut ternyata berhasil mengatasi masalah biaya penggarapan dan sukses meningkatkan jumlah produksi pertanian sehingga mencukupi kebutuhan.
Menariknya, keberhasilan Seni Tani rintisan Vania Febriyantie ini tidak hanya dari sisi jumlah produksi pertanian, tapi juga mampu membangkitkan gairah warga setempat untuk kembali gemar bertani dengan sistem urban farming.
Selain itu, keterlibatan langsung dari warga membuat hubungan antar individu lebih rekat dan dekat dalam kebersamaan bercocok tanam sembari merawat alam dan lingkungan. Tak heran, jika stakeholder memfasilitasi kegiatan tani yang dipelopori pemuda inspiratif ini.
Disamping itu, Vania Febriyantie bersama rekan-rekannya memotivasi serta mengedukasi para pemuda untuk tidak lagi gengsi bercocok tanam.
Keberhasilan Seni Tani menghidupkan lahan-lahan tak tergarap di tengah kota, serta kesuksesannya merubah mindset pemuda agar tidak gengsi bertani membuat Vania Febriyantie mendapat penghargaan dari Astra Satu Indonesia Awards pada tahun 2021 dengan kategori Pejuang Tanpa Pamrih di Masa Covid-19. Vania Febriyantie tak hanya menghidupkan lahan-lahan yang mati, tapi mampu menggugah hati untuk tidak gengsi bertani.