Umar bin Khattab Tolak Shalat Dalam Gereja, Khawatir Gereja Disegel
- Berbagai Sumber
Peran Pemerintah Sebagai Regulator
Hawa fanatisme agama memang selalu berada dalam jiwa umat di berbagai tingkatan. Sementara, manusia dihadapkan pada fakta takdir yang tidak bisa dibantah. Yakni, Tuhan sendiri tidak melahirkan satu agama untuk membimbing umat menuju jalan kebenaran. Substansi nilai kebenarannya tetap tunggal. Namun tata cara beragama dalam rangka meraih kebenaran itu tidak sama.
Ada saudara kita yang melakukan tata cara kristen dalam rangka meraih kebenaran. Ada saudara kita yang menjalankan tata cara katholik dalam rangka meraih kebenaran. Ada saudara kita yang menggunakan tata cara Hindu atau Budha untuk meraih kebenaran. Fakta mayoritas di Indonesia, saudara kita mencoba meraih kebenaran dengan menjalankan tata cara islam.
Ibarat banyak orang yang memiliki tujuan menuju ke Jakarta. Jenis kendaraan yang dipilih orang tersebut tidaklah sama. Ada orang yang menggunakan mobil, motor, dan angkutan umum. Kebenaran tujuan mereka akan terbukti, jika mereka sama-sama sudah sampai di Jakarta.
Jika benar sudah sampai, jenis kendaraan itu tidak akan dibahas lagi. Oleh karena mereka akan sibuk menceritakan indahnya Kota Jakarta. Pun begitu dengan manusia, jika benar sudah sampai pada pencerahan jiwa, identitas agama tidak akan menjadi persoalan pokok yang menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat.
Fenomena ini harus disikapi secara arif melalui peran pemerintah sebagai pengatur tata laksana aturan bermasyarakat. Langkah bijak yang dilakukan oleh Umar bin Khattab dan Sultan Al-Afdhal pada masanya harus dijadikan cermin dalam menyusun regulasi. Sehingga, nilai masing-masing agama tetap terpelihara dan tata pergaulan antar agama pun tidak menyebabkan disintegrasi. Melainkan, tercipta harmoni spirit kemanusiaan menuju pencerahan.
Penulis: Aba Farhan, Direktur Eksekutif Lembaga Pelatihan Kader Ilahiyah, Yayasan TQN Cermin Hati, Cimaung, Purwakarta