Polemik Kampanye di Lembaga Pendidikan
- Screenshot berita VivaNews
VIVA Jabar - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan oleh Handrey Mantiri, pada Selasa (15/8/2023). Amar Putusan No. 65/PUU-XXI/2023 yang tetapkan pada tanggal 15 Agustus 2023 tersebut, di antaranya memperbolehkan kegiatan kampanye di lembaga pendidikan.
Tentu saja perubahan yang sangat pundamental ini menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan, terutama dikalangan lembaga pendidikan itu sendiri.
Menurut pengamat Politik Yustifriadi, kalangan yang sepakat terhadap bolehnya kampanye di lembaga pendidikan lebih kepada pentingnya edukasi politik dan demokrasi bagi kalangan terpelajar seperti siswa dan mahasiswa. Selain itu jelas kepentigan partai politik dan para politisi untuk mempengaruhi pemilih di kalangan terpelajar.
Adapun bagi kalangan yang kontra, Yustifriadi melihatnya lebih kepada kehawatiran kuatnya polarisasi politik, politik transaksional dan pragmatism politik dikalangan lembaga pendidikan. Hal itu lebih disebabkan karena dialetika dan dinamika politik electoral (pemilu) saat ini banyak diwarnai dengan praktek-praktek politik yang tidak mencerdaskan.
Oleh karena itu, kampanye di lembaga pendidikan harus dibatasi dengan beberapa hal, Pertama, Lembaga Pendidikan. Harus dibatasi, lembaga yang diperbolehkan menjadi tempat Kampanye hanya di pendidikan tinggi dan lembaga pendidikan menengah atas. Tidak pada lembaga pendidikan menengah pertama dan lembaga pendidikan tingkat dasar.
Digital Habbit (Kebiasaan Teknologi Digital) adalah milik generasi Z dan Generasi millennial dan merekalah pelajar dan mahasiswa. Sehingga dengan memahami politik dan demokrasi secara utuh, harapanya generasi tersebut bisa terstimulan untuk menyampaikan informasi yang benar dan sehat terkait berbagai hal tentang politik dan demokrasi yang berkembang. Sehingga informasi hoax harapannya bisa terminimalisir di tengah masyarakat.