Hari Anak Nasional Momentum Akselarasi Cegah Anak Indonesia Bebas dari Disleksia
“Anak dengan disleksia itu memiliki kecenderungan merasa dirinya punya ‘self-esteem’ yang rendah. Selalu merasa tidak mampu dan merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Kami memiliki program yang bisa membantu mereka untuk keluar dari permasalahan tersebut, membantu mereka mengubah image diri yang kurang baik menjadi image diri yang lebih baik,” tegas Laurentia Mira.
Oleh karena itu dalam metode sosialisasinya, Yayasan Lentera Insan Kreatif mengajak 225 anak binaan LPKA Bandung dalam dua pendekatan reflektif, yaitu permainan dan gambar (salah dua solusi yang dipilih berdasarkan keterbatasan waktu).
Lewat permainan, anak-anak diajak untuk menggali potensi dirinya masing-masing. Penekanannya agar mereka menyadari memiliki potensi diri, bahwa mereka adalah pribadi yang bisa jadi lebih baik lagi, dan mereka bisa menjadi penolong dengan potensi-potensi yang dimilikinya itu. Sedangkan dengan menggambar, anak diajak untuk merefleksikan tentang siapa mereka sekarang dan siapa mereka di masa mendatang.
Adapun perihal “Gerakan Bhinneka” sendiri, kata Laurentia Mira, dalam praktiknya akan diselenggarakan di seluruh Indonesia secara road show ke 23 Kota di 11 Provinsi yang tersebar di seluruh Indonesia dengan melibatkan organisasi United NoticeAbility Dyslexia Network sebagai kolaborator.
“Di setiap kota yang dikunjungi, kami akan bertemu dengan orang tua dan guru dengan target capaian hingga 2000 orang. Mereka akan diberikan pembelajaran tentang bagaimana caranya mengidentifikasi anak-anak dengan kesulitan belajar spesifik. Di luar itu, kami juga akan meluncurkan buku berjudul ‘Noticing Abilities’, di mana di dalam buku itu sudah tertulis sumbangsih dari berbagai praktisi terkait, baik dari pendidik atau tenaga pengajar, dokter, psikolog, termasuk dari partner kita di luar negeri yang kami nilai memiliki kompetensi dan mengetahui bagaimana caranya membantu anak-anak yang punya kesulitan belajar,” katanya memaparkan.
Lebih jauh, gerakan semacam ini bukan tidak memiliki tantangan yang besar. Secara teknis, dibutuhkan dukungan yang bersumber dari berbagai lapisan aspek, termasuk di ranah pendidikan dan aspek terkait lainnya. Sejauh ini saja, sekolah yang terbuka untuk membantu anak-anak dalam kesulitan belajar spesifik lebih banyak berasal dari sekolah-sekolah PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), ‘home schooling’, dan atau sekolah-sekolah swasta yang sebelumnya memang sudah memiliki program pendampingan anak-anak istimewa.
“Keinginan kami, program ini bisa masuk ke sekolah-sekolah umum dan setiap sekolah umum tersebut pada saatnya nanti akan memiliki program khusus untuk membantu anak-anak yang kesulitan belajar. Agar mereka (baca: sekolah umum) tidak hanya melihat anak-anak ini sebagai anak-anak yang malas, bodoh, atau anak-anak yang berulah saja. Mereka juga harus mau membantu dan mampu membantu. Target itu yang hendak kami gapai,” ujarnya.