Kisah Tuti Anak Petani Karawang, Berawal dari Waiters Lulusan SMP Kini Jadi Miliarder
- Istimewa
VIVA Jabar – Ini adalah kisah Tuti Wulandari (29). Dia adalah owner Hyde Beauty Skincare, brand kosmetik yang kini sedang naik daun.
Tuti kini hidupnya bisa terbilang mapan berkat usaha yang digelutinya tersebut. Berawal dari buruh hingga jadi bos pabrik brand kosmetik beromzet miliaran rupiah, begini kisahnya.
Tuti merupakan anak buruh tani yang dulunya hidup terbatas di pedalaman Indramayu. Ia mencoba mencari rezeki dengan datang ke Karawang.
"Saya dulu seorang waiters di restoran, merantau dari Indramayu ke Karawang sekitar tahun 2009, jadi pertama datang memang bekerja jadi waters," ujar Tuti, saat bercerita di pabrik cosmetic miliknya, yang beralamat di Jalan Serang, Desa Mekarjaya, Kecamatan Purwasari, Kabupaten Karawang.
Tuti menuturkan, menjadi seorang waiters bukanlah tujuan utamanya datang ke kota Industri, namun apa mau dikata, bermodalkan ijazah yang hanya lulusan SMP, ia hanya bisa bekerja sebagai seorang pramusaji di restoran.
"Dari dulu Karawang kan terkenal banyak pabrik, kota industri lah yah, tujuan datang kesini sebenarnya bukan berniat jadi waiters minimal jadi karyawan pabrik. Cuma mau gimana lagi saya kan cuma lulusan SMP yah, jadi hanya bisa ngelamar pelayan restoran," kata dia.
Sebab kurangnya kondisi ekonomi keluarga Tuti lah, yang membuat ia hanya bisa bersekolah sampai SMP, dan membuat dirinya nekat merantau untuk membantu mengurangi beban ekonomi keluarga di kampung.
Singkat cerita, Tuti si gadis kampung yang berprofesi sebagai waiters itu, kemudian bertemu Dedi Anwar karyawan mini market asal Bandung yang sedang merantau di Karawang, yang akhirnya menjadi suami dari Tuti.
"Saya bekerja 3 tahun, sampai bertemu jodoh dan menikah di tahun 2012, suami juga sama awalnya pegawai mini market," ucap Tuti yang kala itu ditemani suaminya.
Awal menikah, keduanya hidup mengontrak di wilayah Purwasari, dan masih melanjutkan pekerjaan yang sama, Tuti sang istri jadi waiters, dan Deni karyawan mini market.
"Tapi saat itu, selain kita sama-sama kerja, kita juga mencoba mulai usaha jualan baju, kosmetik, itu online, dulu lebih condong pake Facebook," tuturnya.
Dua tahun berselang Tuti tak lagi bekerja menjadi waiters, ia memilih mencoba menggeluti usaha jualan online, kemudian beberapa bulan disusul sang suami yang juga memilih resign bekerja.
"Setelah saya dan suami resign bekerja, kita nyoba usaha waktu itu jual gorengan, siomay di rest area 62 Tol Jakarta-Cikampek, dari awal cuma punya 1 tenant, sampai bertambah," ungkapnya.
Saat itu, usaha berjalan lancar selama dua tahun, dari awal ia bekerja sendiri sampai punya enam karyawan, dan tiga tenant, namun hanya berlangsung dua tahun.
"Jadi kita usaha jalan 2 tahun, itu kemudian memutuskan berhenti, karena harga sewa tenant makin mahal, jualan malah sepi karena ada rest area baru," kata Deni menyambung cerita Tuti.
Setelah dua tahun berselang, pada awal 2015, keduanya mulai dikaruniai putra pertama, Tuti dan Deni yang belum punya penghasilan tetap berpikir bagaimana cara ia bertahan hidup, sampai akhirnya saudara Tuti menawarinya gerobak nasi goreng untuk dimanfaatkan.
"Waktu itu kebetulan sudah gak ada penghasilan, istri juga kan mengandung belum fokus jualan online, kebetulan kakak ipar nawarin gerobak nasi goreng. Nah saya mulai tuh jualan nasi goreng di pinggi jalan Pantura," ungkap Deni.
Beberapa bulan keduanya hidup mengandalkan penghasilan dari beberapa bungkus nasi goreng yang berhasil terjual setiap malam, sampai akhirnya putra pertama mereka lahir, dan Tuti kembali sibuk berkurat dengan gawai berjualan online.
"Setelah anak lahir, istri mulai jualan online lagi dengan modal pertama Rp500 ribu, disitu kita melihat peluang, jadi kita cari momen, lagi rame parfum kita jual parfum, lagi rame lisptik kita jual. Trend baju ini lagi rame kita juga ikut jual, Alhamdulillah hasilnya lumayan meskipun gak signifikan," paparnya.
Disamping sibuk mengupload barang dagangan, keduanya mulai berjualan secara offline dengan berdagang di pasar dadakan, yang biasanya ada di pintu gerbang pabrik sepatu di wilayah Klari.
"Selain online, kita juga mulai usaha pasar pagi, kita gelar tikar di sekitar pintu gerbang pabrik, jadi datang subuh pulang sekitar jam 10 pagi, pembelinya para karyawan yang baru pulang dan masuk kerja aja. Itu berjalan sekitar dua tahun antara 2017 sampai 2019," ujar Deni.
Cerita keduanya berlanjut, sampai datangnya masa pandemi, Tuti yang memang mahir berjualan online kemudian ketiban berkah dari berjualan kosmetik online.
"Sampai akhirnya pandemi, kita masih ualan online masif, hasilnya lumayan, sampai akhirnya punya untung yang continue, disitu istri mulai berpikir dari pada menjual barang orang lain kenapa tidak membuat brand sendiri," ucapnya.
Disinilah cerita awal mula Tuti jadi miliader dengan brand kosmetik ciptaannya sendiri dimulai, tepat pada tahun 2021 di masa pandemi Tuti mencoba mengajukan trial produk brnad kosmetik miliknya.
"Tahun 2021 kita mulai mencoba merintis brand kosmetik sendiri, kita ketemu dengan suplier, dan konsultasi, dan kita diberikan trial produk skincare, dan produk lain selama 8 bulan, dan beberapa kali bikin sampel," ungkapnya.
Wakti delapan bulan tersebut, Tuti memanfaatkan betul trial produk itu, ia menampung dan memanfaatkan review hasil produknya, sampai akhirnya di tahun 2022 Hyde Beauty Skincare brand kosmetik milik Tuti diresmikan setelah mendapat sertifikasi dan izin edar dari BPOM.
"Dari trial produk itu, kita Alhamdulillah berjalan lancar dan Hyde Beauty Skincare mendapat sertifikasi dan izin edar dari BPOM pada Februari 2022," ucap Deni.
Sampai akhirnya pasangan waiters dan karyawan mini market itu, kini jadi miliader yang punya pabrik kosmetik sendiri dengan omset miliaran perbulan.
"Jadi sejak berencana membuat brand, kita juga berplanning bagaimana caranya bisa memproduksi sendiri, hanya beberap bulan mengandalkan trial produk dari suplier, sekarang kita sudah punya pabrik sendiri di tahun 2022," imbuhnya.
"Yah, Alhamdulillah sih sejak resmi dapat izin edar kalau omset sebetulnya gak sama, tapi rata-rata dalam sebulan hampir satu em lah (Rp1 miliar)," lanjutnya.
Dari situ Tuti dan Deni kemudian bangkit, mereka tak lagi tinggal di kontrakan dan sudah memiliki beberapa aset berupa kendaraan dan beberapa bidang tanah.
"Alhamdulillah sekarang gak ngontrak lagi, udah ada rumah, mobil juga, walapun kita gak pernah beli mobil baru, tapi kita berprinsip tak ingin mencicil jadi semua dibeli cash, termasuk juga beberapa bidang tanah," pungkasnya.