AI Kian Pesat, Manusia Tetap Pengendali-nya
Jabar, VIVA – Sekarang ini adalah era pesan instan di mana setiap orang bisa bertukar pesan dengan mudah hanya dengan aplikasi seperti WhatsApp (WA) dan Telegram. Padai tahun ‘90-an dulu, bertukar pesan masih menggunakan faksimile yang tentunya tidak instan seperti saat ini. Memasuki tahun 2000, kehadiran faksimile digantikan email (electronic mail/surel).
Saat itu, satu per satu tak sedikit operator faksimile/penunggu warnet berganti profesi menjadi operator warnet. Oleh karena itu, canggihnya kehidupan tak menghilangkan sumber daya manusia (SDM).
Saat ini, seluruh aspek kehidupan mulai dipenuhi dengan kecerdasan buatan (AI/Artificial Intelligence). Misalnya, Suno AI, yang memungkinkan kita menghasilkan lagu yang disusun dengan mendeskripsikan gaya dan memberikan masukan teks, sehingga orang awam bisa jadi pemusik. Sayangnya, kehadiran kecerdasan buatan semacam ini kurang ada efek emosional atau rasa yang khas dirasakan oleh manusia sehingga kurang diresapi dengan sempurna.
Demikian pula dengan aplikasi AI penghasil video editor, penyulih suara, pelukis gambar, sampai ke robot programmer peranti lunak. Seluruhnya bergerak cepat hanya bermodalkan request dari warganet.
Kehadiran AI tak hanya sekedar menempatkan SDM yang bertindak sebagai pencipta dan pengembang AI saja. Jika ingin menyentuh sisi afektif, manusia harus bertindak sebagai pengawas dan pengarah yang memastikan perjalanan AI.
Dengan emosi dan landasan etik, AI bisa terus dikembangkan secara bermanfaat sekaligus bertanggung jawab. Berikut beberapa kunci keberadaan manusia di balik perkembangan AI yang akan selalu dibutuhkan perusahaan:
1. Researcher dan Data Scientist