Maya Stolastika Boleng, Petani Organik Milenial yang Menanam Kebaikan dan Memetik Kesuksesan
- Berbagai Sumber
VIVA Jabar – Sebagai negara agraris, Indonesia kini sudah krisis petani khususnya dari kalangan pemuda. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan dari 135,5 juta penduduk yang bekerja, 29,96 persen bekerja sebagai petani. Namun, angka itu harus terus turun karena minat bertani kalangan muda juga mengalami penurunan.
Petani Indonesia saat ini didominasi oleh petani senior di rentang usia 45-64 tahun. Sementara para pemuda dari keluarga petani lebih memilih pekerjaan di sektor industri atau pekerjaan lain yang penghasilannya lebih pasti.
Di tengah minat pemuda untuk bertani nyaris mati, muncul seorang pemuda dari Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memilih menjadi petani organik milenial. Ia tidak lahir dari keluarga petani, tidak pula mengenyam pendidikan pertanian di bangku formal, tapi ia mampu berkontribusi langsung di dunia pertanian.
Dia adalah Maya Stolastika Boleng, perempuan kelahiran Larantuka, Flores Timur itu keluar dari mindset umumnya pemuda.
Saat berusia 22 tahun, Sarjana Sastra Inggris itu bertemu seorang Guru Yoga ketika berkunjung ke Bali. Pertemuan tersebut mampu mengubah arah pikiran Maya hingga ia memutuskan untuk memulai pertanian organik.
Pada tahun 2008, Maya menyewa lahan seluas 5000 meter di Claket, Pacet, Mojokerto. Disanalah Maya dibantu 4 orang temannya mulai bertani bersama para petani yang ada di sana.
Namun, hambatan hadir merintang. Pada saat panen, Maya kebingungan untuk menjual hasil panennya sekitar 1,5 ton sawi. Pontang panting mencari pembeli, akhirnya ia menjual ke pasar induk Surabaya. Tapi ternyata, jual beli di pasar tidak semudah yang ia bayangkan. Kerugian pun ia alami. Tak hanya itu, 3 orang teman Maya memilih menyerah dan mengundurkan diri.
Di awal merintis usaha pertanian organik itu, Maya memang tidak cukup ilmu baik tentang pertaniannya maupun tentang alur perdagangan hasil taninya. Hal tersebut menjadi pelajaran berharga bagi Maya.
Tak hanya mengalami mengalami kerugian, Maya juga harus menghadapi stigma negatif dari lingkungan terlebih keluarganya. Sebab, keluarga Maya tidak merestui dirinya menjadi petani. Sempat beralih pekerjaan beberapa waktu demi menyenangkan keluarga, tapi panggilan nurani tak bisa ditolak, bertani masih menjadi pilihan hatinya.
Akhirnya ia kembali bertemu dengan Wita, teman yang pernah merintis pertanian organik bersamanya. Keduanya kembali bertekad menaklukan pertanian organik. Mereka mendirikan Twelve's Organic. Bersama Twelve's Organic, Maya menemukan jalan cerah karena mulai memasok sayur, buah dan bumbu dapur ke supermarket dan ke hotel-hotel.
Sebagai generasi masa kini yang akrab dengan dunia digital, Maya memanfaatkan sosial media untuk memasarkan hasil panen dari petani yang bernaung di Twelve's Organic dan menjadi binaannya. Maya berusaha memutus rantai distribusi dengan mengubah strategi pemasaran menjadi end user oriented.
Maya pun kemudian mengubah lahan pertaniannya dengan konsep fresh garden market di mana konsumen bisa langsung datang dan melihat hasil pertaniannya, membeli, kemudian memanen sendiri dari lahan.
Kini, semangat dan tekat serta kerja keras yang didukung pengetahuan yang mumpuni, Maya memiliki tujuh titik lahan di Mojokerto, Jawa Timur. Ia juga memiliki petani binaan berjumlah puluhan orang yang terbagi dalam 2 Kelompok Tani yaitu Kelompok Tani Madani yang fokus menanam sayuran, dan Kelompok Petani Swadaya yang fokus pada rapsberry dan blueberry.
Tak hanya itu, Maya kini memiliki ratusan konsumen tetap yang berasal dari rumah tangga, belasa reseller dan beberapa outlet organik.
Tak ingin sukses sendiri, sambil bertani Maya juga melakukan edukasi. Maya mengharuskan petani binaan Twelve’s Organic untuk mengikuti kelas pelatihan, seperti kelas pemahaman pertanian organik, kelas budidaya, kelas penjaminan mutu organik, dan kelas manajemen kebun.
Di kelas-kelas itu, Maya melihat senyum tulus dan penuh harapan para petani. Mereka berkarya bersama, menanam kebaikan bersama, dan memetik kesuksesan bersama.