Divonis 4 Tahun Penjara, Mantan Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna Tulis Surat, Begini Isinya

Mantan Wali Kota Cimahi, Ajay Muhammad Priatna
Sumber :

Jabar – Majlis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung telah menjatuhkan vonis 4 tahun penjara kepada mantan wali Kota Cimahi, Ajay Muhammad Priatna pada 10 April 2023. Ajay terbukti menyuap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Stepanus Robin Pattuju.

Aktivis Anti Korupsi Desak Mardani Maming Segera Dibebaskan

"Menjatuhkan pidana penjara selama empat tahun dan denda sebesar Rp200 juta, subsider empat bulan kurungan," kata Ketua Majelis Hakim Eman Sulaeman di PN Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (10/4/2023) lalu.

Menurut mantan Wali Kota Cimahi itu, vonis terhadap dirinya sangat tidak adil dan mencederai rasa keadilan sebagai warga negara Indonesia. 

Jual Lahan Untuk Jadi Bupati, KPK: Biaya Politik di Indonesia Cukup Mahal

Merasa tak puas dengan putusan hakim PN Bandung, Ajay M. Priatna menulis surat yang berisi ulasan cukup detail mengenai proses hukum yang ia jalani hingga ia mendapat vonis 4 tahun yang dirasa tidak adil.

Meski vonis yang dijatuhkan terhadapnya sudah lebih ringan dari tuntutan dari Penuntut Umum KPK, Ajay merasa vonis terhadap dirinya menciderai rada keadilan sebagai warga negara Indonesia.

Menteri Agama Gus Yaqut Dilaporkan ke KPK soal Penyelewengan Kuota Haji

Seperti diketahui, bahwa sebelumnya Ajay Muhammad Priatna dituntut oleh Penuntut Umum KPK yaitu Sdr. Tito Jaelani, dkk pidana penjara selama 8 tahun, denda sebesar Rp 200 juta uang pengganti sebesar Rp 250 juta dan pencabutan hak politik selama 5 tahun. 

"Sungguh putusan yang sangat tidak adil bagi saya dan menciderai rasa keadilan masyarakat. Majelis Hakim sama sekali tidak melihat dan mempertimbangkan fakta persidangan yang merupakan fakta hukum sebagai dasar menjatuhkan putusan. Putusan pun terkesan dipaksakan, mau membebaskan saya takut karena berhadapan dengan KPK, akhirnya dicari-cari pertimbangan supaya tetap menghukum saya, setidaknya setengah dari tuntutan Jaksa KPK, " ujar Ajay M. Priatna dalam suratnya.

Lebih lanjut Ajay menilai, Majelis Hakim sudah tidak sependapat dengan Dakwaan Kumulatif Kesatu alternatif Pertama yaitu Pasal 5 ayat (1) huruf a. Maka seharusnya dia dilepaskan dari dakwaan dan tuntutan Jaksa KPK, bukan malah mencari alternatif lain yaitu divonis melanggar Dakwaan Kumulatif Kesatu alternatif Ketiga yaitu Pasal 13, memberi hadiah kepada Stefanus Robin Pattuju. 

"Hadiah apa? Atas dasar apa Stefanus Robin Pattuju diberi hadiah? Apa yang sudah dilakukannya sebagai penyidik KPK terhadap saya, sehingga saya memberikan hadiah? Korban penipuan dan pemerasan, malah dianggap memberi hadiah. Sungguh tidak masuk akal dan logika, bahkan sama sekali tidak sesuai dengan fakta hukum dalam persidangan, " tambah Ajay dalam surat yang ia tulis.

Tidak hanya itu, Ajay juga menjelaskan dirinya dinyatakan melanggar Pasal 12B, yaitu telah menerima Gratifikasi dari para PNS Kota Cimahi sebesar Rp 250 juta.

Padahal, kata Ajay, sudah jelas disampaikan para saksi, uang tersebut dikumpulkan oleh Sekda Cimahi, Dikdik Suratno Nugrahawan untuk diberikan kepada penyidik KPK, Stefanus Robin Pattuju.

Ajay Muhammad Priatna pun menyebutkan, bahwa testimoni tersebut ditulis dari balik penjara. Ditulis dengan sebenarnya dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. 

Mantan Wali Kota Cimahi itupun berharap, masyarakat dan para pejuang keadilan yang membacanya, dapat mengetahui dan mengerti bagaimana sebenarnya penegakan hukum di negeri ini yang hanya menghakimi tapi bukan mengadili guna memberikan keadilan baginya.

Di akhir suratnya, Ajay memanjatkan doa, agar Allah melaknat siapapun yang berdusta.

Berikut tulisan lengkap Mantan Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna.

Mengadili Bukan Menghakimi

Testimoni  Ir. H. Ajay Muhammad Priatna, M.M.

Assalamualaikum wr. Wb.

Perkenalkan, nama saya Ir. H. Ajay Muhammad Priatna, M.M., pekerjaan Walikota Cimahi Periode 2017-2022.

Seperti diketahui bersama, saya dituduh sama Jaksa Penuntut Umum KPK Tito Jaelani, Dkk telah menyuap penyidik KPK yang bernama Stefanus Robin Pattuju sebesar Rp 507.390.000 (lima ratus tujuh juta tiga ratus sembilan puluh ribu rupiah), yang waktu itu sdr. Robin mengenalkan dirinya ke saya dengan nama Roni dan juga saya dituduh menerima Gratifikasi dari PNS Kota Cimahi sebesar Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah).  

Hal tersebut sudah disidangkan kurang lebih 20 kali sidang, dengan saksi total 47 orang dan hampir semua saksinya adalah PNS, dalam rentang waktu + 5 bulan.  Dan pada tanggal 28 Maret 2023 Jaksa Penuntut Umum KPK membacakan tuntutannya dengan tuntutan penjara 8 Tahun, Uang Pengganti Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah), denda Rp 200.000.000 (dua ratus  juta rupiah), cabut hak politik 5 tahun atas tuduhan tersebut.

Setelah mendengar tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum seperti ini, saya meyakini semua orang akan terkejut, terutama saya, karena suatu tuntutan yang di luar akal sehat dan hati nurani, suatu tuntutan yang lebih mengedepankan rasa dendam dari pada penegakan hukum dan keadilan, padahal saya adalah korban dari penipuan dan pemerasan dari Sdr. Roni/ Stefanus Robin Pattuju.

Kasus saya ini adalah kasus pengembangan dari kasus Sdr. Robin dengan M. Syahrial (Walikota Tanjung Balai) dan Azis Syamsudin. Seharusnya Jaksa Penuntut Umumnya adalah Jaksa Penuntut Umumnya Robin dengan M. Syahrial (Walikota Tanjung Balai) dan Azis Syamsudin. Tapi saya tidak tahu kenapa Jaksa Penuntut Umumnya Tito Jaelani dan kawan-kawan.  Seperti diketahui, Tito Jaelani adalah Jaksa Penuntut Umum saya di masalah Rumah Sakit Swasta Kasih Bunda.

Saya dituduh oleh Jaksa Penuntut Umum Tito Jaelani dan kawan-kawan menerima gratifikasi dari berbagai pihak sebesar Rp 7,9 M.  Dan dituduh menerima suap penerbitan Izin Prinsip sebesar Rp 3,2 M, padahal Izin Prinsip sudah keluar 2,5 tahun sebelumnya.  Izin keluar pada tanggal 6 Juni 2018, saya ditangkap KPK tanggal 27 November 2020 (2,5 tahun kemudian). 

Saya dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum Tito Jaelani dan kawan-kawan dengan pidana 7 tahun penjara. Atas tuntutan tersebut, saya divonis 2 tahun penjara karena tidak terbukti menerima suap dan tidak terbukti menerima gratifikasi (pasal 12 huruf a dan pasal 12B). 

Dalam perkara tersebut, saya divonis berdasarkan pasal 11 walaupun saya tetap bingung, karena masa ada terima hadiah ada invoice, ada kwitansi dan bayar pajak. Itu kasus saya di Rumah Sakit Swasta Kasih Bunda dengan Jaksa Penuntut Umum Tito Jaelani.

Padahal yang benar di masalah Rumah Sakit Swasta Kasih Bunda hanyalah bisnis semata.  Saya beri modal kontraktornya, karena saya pikir itu proyek swasta murni, tidak ada melibatkan uang APBD/APBN serupiah pun.

Divonis 2 tahun saya banding hingga  di tingkat kasasi, semua barang bukti berupa uang semua dikembalikan kepada saya, termasuk yang ada di beberapa media sosial yang kata KPK OTT sebesar Rp 425 juta semua dikembalikan ke saya.

Dan sekarang Tito Jaelani dan kawan-kawan menuduh saya menyuap sdr. Stefanus Robin Patuju (penyidik KPK) sebesar Rp 507 juta.  Dalam tuntutannya sama sekali tidak melihat fakta persidangan, sama sekali mengabaikan fakta persidangan, karena fakta persidangan dengan saksi sdr. Robin sudah jelas mengatakan bahwa dia hanya akal-akalan cari uang dan menipu saya.  Karena tidak ada yang diperbuat sewaktu terima uang, dan kasus penipuan sudah dilaporkan oleh saya di Polda Metro Jaya, dan sedang berjalan pemanggilan saksi-saksi.

Dan kecurigaan saya terbukti dengan tuntutan yang diluar akal sehat dan hati nurani. Bagaimana tidak curiga, ini adalah tuntutan yang mengedepankan rasa dendam daripada penegakan hukum dan rasa keadilan.  Saya dituduh oleh Jaksa Penuntut umum menerima gratifikasi Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dikumpulkan oleh Sekda dengan tuntutan 8 tahun penjara.

Sementara kalau kita lihat perkara gratifikasi sebelumnya yang didakwa dan dituntut oleh KPK, dengan penerimaan lebih dari Rp 1 M, sebagai berikut:

Pada perkara No. 6/Pid.sus-TPK/2022/PN.Jmb, tanggal 21 Juli 2022 dengan terdakwa Apip Firmansyah dengan nilai gratifikasi Rp. 34.610.300.000 (tiga milyar enam ratus sepuluh juta tiga ratus ribu rupiah) tuntutan pidananya penjara 5 tahun denda Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) Uang Pengganti Rp. 4.323.300.000 (empat milyar tiga ratus dua puluh tiga juta tiga ratus ribu rupiah).

Pada perkara No. 45/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Mks, tanggal 29 November 2021 dengan terdakwa Prof. Dr. Ir. H. M. Nurdin Abdulah. M. Agr. (Gubernur Sulawesi Selatan) dengan nilai gratifikasi Rp. 6.587.600.000 (enam milyar lima ratus delapan puluh tujuh juta enam ratus ribu rupiah), dan SGD 200.000 (dua ratus ribu dollar singapura) tuntutan pidananya penjara 6 tahun, denda Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah), Uang Pengganti Rp. 3.187.600.000 (tiga milyar seratus delapan puluh tujuh juta enam ratus ribu rupiah) dan SGD 350.000 (tiga ratus lima puluh ribu dollar singapura).

Pada perkara No. 4/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst, tanggal 14  Juli 2021 dengan terdakwa Rohadi (Panitera) dengan nilai gratifikasi Rp 11.518.850.000 (sebelas milyar lima ratus delapan belas juta delapan ratus lima puluh ribu rupiah) tuntutan pidananya penjara 5 tahun denda Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah).

Pada perkara No. 75/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Bdg, tanggal 22 Maret 2021 dengan terdakwa Rachmat Yasin dengan nilai gratifikasi Rp. 8.961.326.222,94 (delapan milyar Sembilan ratus enam puluh satu juta tiga ratus dua puluh enam ribu dua ratus dua puluh dua rupiah Sembilan puluh empat sen) tuntutan pidananya penjara 4 tahun denda Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).

Pada perkara No. 81/Pid.Sus-TPK/2019/PN.JKT.Pst, tanggal 4 Desember 2019 dengan terdakwa Bowo Sidik Pangarso (Anggota Komisi VI DPR RI) dengan nilai gratifikasi SGD 250.000 (dua ratus lima puluh ribu dollar singapura), SGD 200.000 (dua ratus ribu dollar singapura), SGD 200.000 (dua ratus ribu dollar singapura), SGD 50.000 (lima puluh ribu dollar singapura) dan Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah) tuntutan pidananya penjara 7 tahun, denda Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) Uang Pengganti Rp. 52.095.965 (lima puluh dua juta Sembilan puluh lima ribu Sembilan ratus enam puluh lima rupiah).

Dari uang yang diminta sdr. Robin sebesar Rp 507.390.000 (lima ratus tujuh juta tiga ratus sembilan puluh ribu rupiah) itu antara lain Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah)nya adalah uang dari sumbangan teman-teman SKPD dan camat yang dikumpulkan melalui pak Sekda sesuai dengan fakta persidangan, dimana para saksi-saksi + 20 (dua puluh) lebih saksi dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) mereka mengatakan bahwa sumbangan-sumbangan itu atas perintah pak Sekda. 

Tidak ada perintah langsung dari Walikota (Ir. H. Ajay Muhammad Priatna, M.M.).  Dan uang sumbangan tersebut buat oknum KPK bukan untuk Walikota (Ir. H. Ajay Muhammad Priatna, M.M.). Dan sisanya Rp. 257.000.000 (dua ratus lima puluh tujuh juta rupiah) adalah uang pribadi saya (Ir. H. Ajay Muhammad Priatna, M.M.).

Jadi darimana saya dapat/menerima gratifikasinya? Jangankan menikmati, nombok malah karena yang dikasih ke Sdr. Robin Rp 507.390.000 (lima ratus tujuh juta tiga ratus sembilan puluh ribu rupiah), sedangkan dari pak Sekda Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan dari uang pribadi saya Rp 257.000.000 (dua ratus lima puluh tujuh juta rupiah). Jadi darimana Gratifikasinya? Saya tidak menikmati uangnya untuk kepentingan pribadi.

Pada hari Senin tanggal 10 April 2023, tibalah saatnya saya untuk mendengar putusan Majelis Hakim PN Bandung yang mengadili perkara ini. Setelah sebelumnya dituntut oleh Penuntut Umum KPK yaitu Sdr. Tito Jaelani, dkk pidana penjara selama 8 tahun, denda sebesar Rp 200 jt, uang pengganti sebesar Rp 250 jt dan pencabutan hak politik selama 5 tahun, maka Majelis Hakim pun menjatuhkan putusannya yaitu pidana penjara selama 4 tahun, denda sebesar Rp 200 jt, dan pencabutan hak politik selama 2 tahun.

Sungguh putusan yang sangat tidak adil bagi saya dan menciderai rasa keadilan masyarakat. Majelis Hakim sama sekali tidak melihat dan mempertimbangkan fakta persidangan yang merupakan fakta hukum sebagai dasar menjatuhkan putusan. Akibatnya putusan pun terkesan dipaksakan, mau membebaskan saya takut karena berhadapan dengan KPK, akhirnya dicari-cari pertimbangan supaya tetap menghukum saya, setidaknya setengah dari tuntutan Jaksa KPK.

Padahal Majelis Hakim sudah tidak sependapat dengan Dakwaan Kumulatif Kesatu alternatif Pertama yaitu Pasal 5 ayat (1) huruf a, maka seharusnya saya dilepaskan dari dakwaan dan tuntutan Jaksa KPK, bukan malah mencari alternatif lain yaitu divonis melanggar Dakwaan Kumulatif Kesatu alternatif Ketiga yaitu Pasal 13, memberi hadiah kepada Stefanus Robin Pattuju. Hadiah apa? Atas dasar apa Stefanus Robin Pattuju diberi hadiah? Apa yang sudah dilakukannya sebagai penyidik KPK terhadap saya, sehingga saya memberikan hadiah? Korban penipuan dan pemerasan, malah dianggap memberi hadiah. Sungguh tidak masuk akal dan logika, bahkan sama sekali tidak sesuai dengan fakta hukum dalam persidangan.

Kemudian saya dinyatakan melanggar Pasal 12B, yaitu menerima Gratifikasi dari para PNS Kota Cimahi sebesar Rp 250 jt. Padahal sudah jelas disampaikan para saksi, uang tersebut dikumpulkan pak Sekda untuk diberikan kepada oknum KPK yaitu Stefanus Robin Pattuju, bukan untuk kepentingan pribadi saya. Lagi-lagi putusan yang sangat dipaksakan oleh Majelis Hakim demi memuaskan tuntutan KPK dan menghindari pemeriksaan KY dan MA. Saya percaya, putusan yang tidak adil dan zhalim ini, akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Amin.

Demikianlah testimoni ini saya tulis dari balik penjara, dengan sebenarnya dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Semoga masyarakat dan para pejuang keadilan yang membacanya, dapat mengetahui dan mengerti bagaimana sebenarnya penegakan hukum di negeri ini yang hanya menghakimi tapi bukan mengadili guna memberikan keadilan bagi saya dan kita semua.

Semoga Allah SWT, Tuhan YME, mendengar dan mengabulkan sumpah Mubahalah saya, siapa yang berdusta maka dialah yang akan dilaknat Allah SWT, sebagaimana Firman-Nya:

“Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu, kemudian marilah kita bermubahalah, kemudian kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta” (QS: Ali Imran 61).

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Kebon Waru, 15 April 2023

Hormat saya,

Ir. H. Ajay Muhammad Priatna, M.M.